RENO
"Eh Shinta, bukan?"
Langkahku terhenti, "Ng? Sorry, kenapa?"
"Kamu Shinta, bukan?"
"Sorry, siapa ya?" tanyaku sesopan mungkin. Sedikit takut disapa oleh seorang lelaki yang tak kukenal.
"Ah ternyata benar Shinta ya? Aku Reno. Ingat? Kita sekelas cuma sampai kelas dua SD sih dulu."
Aku diam. Bingung dan berusaha mengingat. Dan masih tetap berdiri di teras depan rumahku.
"Lupa ya? Kalau sama teman SD yang suka ngikutin kamu pulang, inget nggak?" tanyanya sambil nyengir.
Kemudian ingatan membawaku jauh ke suatu masa. Lima belas tahun yang lalu. Pada suatu sore ketika langit berwarna jingga kekuningan.
~~~~~
Ibu sedang merangkai rambut Shinta kecil dengan beberapa jepit rambut, sambil bercanda dan berbincang tentang apa saja. Iya, itu aku dan Ibu di masa lalu.
Ibu selalu menyempatkan diri merangkai rambutku dengan berbagai bentuk jepit rambut. Tak pernah rela melihat aku kegerahan karena rambut keritingku, begitu kata Ibu disuatu hari.
Dan aku selalu suka jika Ibu membelai rambutku. Selalu suka. Membuatku candu. Ada nyaman yang mendesir hingga membuat merinding kala Ibu mengusap, menyisir, dan membelai rambutku. Dan selalu terselip banyak cerita dari bibirku sembari Ibu menyelesaikan ikatan-ikatan di rambutku.
"Permisi. Shinta, ini punyamu," kata seorang anak lelaki, yang tiba-tiba datang menghampiri kami.
Meraih tangan kecilku dan menyerahkan sebuah kotak mini. Aku menerima dengan pasrah. Bingung. Ingin bertanya tapi malu pada Ibu, dan canggung dengan situasi yang demikian ini.
"Ya sudah, saya pamit ya Bu," pamitnya pada Ibu sambil berlari menjauh. Ibu hanya tersenyum. Senyum bingung, menurutku.
Sepeninggalan anak lelaki itu, aku makin bingung karena kotak itu bukan milikku. Aku juga tak merasa menitipkan apapun kepadanya.
Kubuka.
Berisi banyak jepit rambut mini berbentuk klip yang berwarna-warni. Cantik. Tapi masih membuatku bingung.
"Jepitmu, Nok?"
Aku menggeleng. "Bukan, Bu. Tapi kok katanya itu punyaku ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Keesokan harinya, aku berniat memberanikan diri mengembalikan dan bertanya pada anak lelaki itu. Dia anak lelaki yang dikenal sebagai anak paling nakal dan susah diatur. Dia pernah membenturkan kepala teman kami saat pulang sekolah. Aku menyaksikannya sendiri. Sedikit tempramental, menurutku. Itulah yang membuatku selalu berusaha menjaga jarak dan meminimalkan kontak sosial dengannya.
Tapi kemudian, "Anak-anak, Ibu Guru mau memberi pengumuman kalau teman kita, Reno, hari ini mulai pindah sekolah. Dia pindah ke Jakarta dan tidak sempat berpamitan langsung."
Deg!
Lalu ini jepit siapa? Kok pindah nggak pamit? Maksudnya apa? Masih menimbulkan pertanyaan hingga setahun kemudian, lima tahun kemudian, dan bahkan sering teringat pada tahun-tahun selanjutnya. Hingga sekarang. Hingga awal tahun 2017.
~~~~~
"Reno. Yang paling nakal, nggak bisa diam, yang suka ngikutin aku pulang sekolah, yang tiba-tiba datang ngasih jepit mini, yang langsung lari pergi, dan besoknya ternyata sudah pindah ke Jakarta?"
"Hehehehe. Apa kabar, Ta?"
Tak kusangka.
"Yang jadi satu-satunya teman yang manggil aku dengan 'Ta', bukan 'Shin'."
Kami tertawa bersama.
Dia tampan. Walau sebenarnya aku lupa wajahnya dimasa lalu.
"Kok masih ingat wajahku dan rumahku?"
"Aku tanya Naura, teman SD kita yang rumahnya dekat dengan rumah Omku. Katanya rumahmu belum pindah. Ya sudah, aku coba ke sini. Dan kebetulan kamu baru pulang juga. Lagian wajahmu nggak banyak perubahan. Masih sama seperti dulu. Masih cantik. Masih bisa bikin aku naksir.”
“Ah kamu bisa aja deh, Ren. Tapi kok bisa sih masih ingat begitu? Aku saja lupa loh dengan wajahmu dulu. Lupa juga dengan persisnya rumah Ommu.”
“Cinta selalu tahu ke mana ia harus kembali, Ta. Cinta yang menuntun. Makanya aku balik ke sini. Walaupun nggak selamanya."
“Hahahaha sudah dewasa ya ternyata. Sudah bisa ngomong tentang cinta dan sudah pinter ngegombali aku.”
“Aku serius, Ta.”
"Eh, dulu jepit mini yang kamu kasih ke aku itu bukan punyaku lho. Tapi sorry, malah nekat aku pakai. Sayang aja kalau nggak dipakai cuma karena ketidakjelasanmu hehehe," kualihkan pembicaraan. Tak nyaman membicarakan tentang cinta di pertemuan pertama setelah sekian lama.
"Memang itu buat kamu kok. Karena dulu kamu selalu pakai jepit. Sengaja bikin bingung dan penasaran, biar kamu kepikiran aku terus."
“Dulu kenapa sih sering ngikuti aku pulang? Padahal rumah kita beda arah, kan?”
“Kamu cantik, kalem, dan pintar. Semua guru dan karyawan pasti kenal kamu. Aku tahu kamu selalu menghindar dariku. Pasti takut ya Ta, sama aku? Hehehe. Aku coba ngikuti kamu, dan berharap kamu mempersilakanku masuk ke rumahmu dan ngobrol banyak sama kamu, eee tapi kamu selalu jalan sambil lari dan langsung tutup pintu tiap sampai rumah. Atau kadang malah ngumpet di rumah tetangga depanmu. Ya, kan?”
“Hahahahahaha. Ternyata kamu tahu kalau aku ngumpet?”
Membayangkan masa kecil memang menyenangkan dan menggelikan.
“Shin, udah pulang? Ada tamu kok nggak suruh masuk? Malah diajak berdiri di depan pagar gitu." Mas Rama tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah.
"Loh Mas, udah lama nunggu di rumah?”
“Lumayan sih. Ditemani Ibu kok.”
“Oh ya, Mas. Kenalkan, ini Reno, teman SDku dulu. Reno, kenalkan ini Mas Rama. Tunanganku.”
Reno terdiam. Senyumnya pudar. Tak membalas uluran tangan Mas Rama. Entah mengapa.
160217
-yw-
untuk #1minggu1cerita
Langkahku terhenti, "Ng? Sorry, kenapa?"
"Kamu Shinta, bukan?"
"Sorry, siapa ya?" tanyaku sesopan mungkin. Sedikit takut disapa oleh seorang lelaki yang tak kukenal.
"Ah ternyata benar Shinta ya? Aku Reno. Ingat? Kita sekelas cuma sampai kelas dua SD sih dulu."
Aku diam. Bingung dan berusaha mengingat. Dan masih tetap berdiri di teras depan rumahku.
"Lupa ya? Kalau sama teman SD yang suka ngikutin kamu pulang, inget nggak?" tanyanya sambil nyengir.
Kemudian ingatan membawaku jauh ke suatu masa. Lima belas tahun yang lalu. Pada suatu sore ketika langit berwarna jingga kekuningan.
~~~~~
Ibu sedang merangkai rambut Shinta kecil dengan beberapa jepit rambut, sambil bercanda dan berbincang tentang apa saja. Iya, itu aku dan Ibu di masa lalu.
Ibu selalu menyempatkan diri merangkai rambutku dengan berbagai bentuk jepit rambut. Tak pernah rela melihat aku kegerahan karena rambut keritingku, begitu kata Ibu disuatu hari.
Dan aku selalu suka jika Ibu membelai rambutku. Selalu suka. Membuatku candu. Ada nyaman yang mendesir hingga membuat merinding kala Ibu mengusap, menyisir, dan membelai rambutku. Dan selalu terselip banyak cerita dari bibirku sembari Ibu menyelesaikan ikatan-ikatan di rambutku.
"Permisi. Shinta, ini punyamu," kata seorang anak lelaki, yang tiba-tiba datang menghampiri kami.
Meraih tangan kecilku dan menyerahkan sebuah kotak mini. Aku menerima dengan pasrah. Bingung. Ingin bertanya tapi malu pada Ibu, dan canggung dengan situasi yang demikian ini.
"Ya sudah, saya pamit ya Bu," pamitnya pada Ibu sambil berlari menjauh. Ibu hanya tersenyum. Senyum bingung, menurutku.
Sepeninggalan anak lelaki itu, aku makin bingung karena kotak itu bukan milikku. Aku juga tak merasa menitipkan apapun kepadanya.
Kubuka.
Berisi banyak jepit rambut mini berbentuk klip yang berwarna-warni. Cantik. Tapi masih membuatku bingung.
"Jepitmu, Nok?"
Aku menggeleng. "Bukan, Bu. Tapi kok katanya itu punyaku ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Keesokan harinya, aku berniat memberanikan diri mengembalikan dan bertanya pada anak lelaki itu. Dia anak lelaki yang dikenal sebagai anak paling nakal dan susah diatur. Dia pernah membenturkan kepala teman kami saat pulang sekolah. Aku menyaksikannya sendiri. Sedikit tempramental, menurutku. Itulah yang membuatku selalu berusaha menjaga jarak dan meminimalkan kontak sosial dengannya.
Tapi kemudian, "Anak-anak, Ibu Guru mau memberi pengumuman kalau teman kita, Reno, hari ini mulai pindah sekolah. Dia pindah ke Jakarta dan tidak sempat berpamitan langsung."
Deg!
Lalu ini jepit siapa? Kok pindah nggak pamit? Maksudnya apa? Masih menimbulkan pertanyaan hingga setahun kemudian, lima tahun kemudian, dan bahkan sering teringat pada tahun-tahun selanjutnya. Hingga sekarang. Hingga awal tahun 2017.
~~~~~
"Reno. Yang paling nakal, nggak bisa diam, yang suka ngikutin aku pulang sekolah, yang tiba-tiba datang ngasih jepit mini, yang langsung lari pergi, dan besoknya ternyata sudah pindah ke Jakarta?"
"Hehehehe. Apa kabar, Ta?"
Tak kusangka.
"Yang jadi satu-satunya teman yang manggil aku dengan 'Ta', bukan 'Shin'."
Kami tertawa bersama.
Dia tampan. Walau sebenarnya aku lupa wajahnya dimasa lalu.
"Kok masih ingat wajahku dan rumahku?"
"Aku tanya Naura, teman SD kita yang rumahnya dekat dengan rumah Omku. Katanya rumahmu belum pindah. Ya sudah, aku coba ke sini. Dan kebetulan kamu baru pulang juga. Lagian wajahmu nggak banyak perubahan. Masih sama seperti dulu. Masih cantik. Masih bisa bikin aku naksir.”
“Ah kamu bisa aja deh, Ren. Tapi kok bisa sih masih ingat begitu? Aku saja lupa loh dengan wajahmu dulu. Lupa juga dengan persisnya rumah Ommu.”
“Cinta selalu tahu ke mana ia harus kembali, Ta. Cinta yang menuntun. Makanya aku balik ke sini. Walaupun nggak selamanya."
“Hahahaha sudah dewasa ya ternyata. Sudah bisa ngomong tentang cinta dan sudah pinter ngegombali aku.”
“Aku serius, Ta.”
"Eh, dulu jepit mini yang kamu kasih ke aku itu bukan punyaku lho. Tapi sorry, malah nekat aku pakai. Sayang aja kalau nggak dipakai cuma karena ketidakjelasanmu hehehe," kualihkan pembicaraan. Tak nyaman membicarakan tentang cinta di pertemuan pertama setelah sekian lama.
"Memang itu buat kamu kok. Karena dulu kamu selalu pakai jepit. Sengaja bikin bingung dan penasaran, biar kamu kepikiran aku terus."
“Dulu kenapa sih sering ngikuti aku pulang? Padahal rumah kita beda arah, kan?”
“Kamu cantik, kalem, dan pintar. Semua guru dan karyawan pasti kenal kamu. Aku tahu kamu selalu menghindar dariku. Pasti takut ya Ta, sama aku? Hehehe. Aku coba ngikuti kamu, dan berharap kamu mempersilakanku masuk ke rumahmu dan ngobrol banyak sama kamu, eee tapi kamu selalu jalan sambil lari dan langsung tutup pintu tiap sampai rumah. Atau kadang malah ngumpet di rumah tetangga depanmu. Ya, kan?”
“Hahahahahaha. Ternyata kamu tahu kalau aku ngumpet?”
Membayangkan masa kecil memang menyenangkan dan menggelikan.
“Shin, udah pulang? Ada tamu kok nggak suruh masuk? Malah diajak berdiri di depan pagar gitu." Mas Rama tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah.
"Loh Mas, udah lama nunggu di rumah?”
“Lumayan sih. Ditemani Ibu kok.”
“Oh ya, Mas. Kenalkan, ini Reno, teman SDku dulu. Reno, kenalkan ini Mas Rama. Tunanganku.”
Reno terdiam. Senyumnya pudar. Tak membalas uluran tangan Mas Rama. Entah mengapa.
160217
-yw-
untuk #1minggu1cerita
Mungkin beginilah keceriaan kami, Shinta dan Reno, lima belas tahun lalu |
Dan mungkin beginilah wajah Reno kecil. Tampan, dan menjengkelkan |
Komentar