LUPA DAN WAKTU YANG SEMBUHKANKU
“Hai Shinta! Apa kabar?”
sapa seseorang melalui direct message Instagram.
Adi
Wicaksana, begitu nama akunnya.
Ha?
Siapa?
“Cuma dilihat doang nih, Shin?
Masih dendam ya sama aku?” katanya lagi.
Lah?
Siapa sih? Penasaran. Kubuka akun instagramnya. Ternyata akunnya dikunci. Malas
memfollow.
“Maaf, siapa ya? Ada perlu apa?” kubalas
pesannya.
“Ya Tuhan, kamu lupa
sama aku? Aku Adi. Atau jangan-jangan kamu pura-pura lupa karena masih dendam
dengan perlakuanku dulu?
Itu masa lalu, Shin. Aku
menyesal. Please, maafkan.”
Adi.
Ya, aku ingat. 2011. Enam tahun lalu.
.
.
“Maafin aku, Shin. Aku tahu kalau aku salah.”
“Kalau tahu salah, kenapa malah dilakukan? Kenapa malah
diteruskan? Ha?!” kutahan amarahku ditengah panas matahari siang yang menyengat
ubun-ubun.
“Jujur, aku memang suka sama dia. Begitu juga dengan dia.
Maaf, Shin.”
Aku diam.
“Aku nggak tahu harus gimana. Kami saling suka, tapi kami
juga nggak tega untuk jujur sama kamu. Aku bingung, Shin. Maaf.”
“Terserah!” Aku berlalu pergi, dengan langkah yang kubuat
setenang mungkin. Sambil kutekan nomor handphone
seseorang yang memang sangat kuhapal.
“Hallo,” begitu sapanya.
“Lanjutkan saja hubunganmu dengan Naura. Kita putus!”
Kututup sambungan telepon, sekaligus kumatikan handphoneku.
Aku tak mau diganggu siapapun, terlebih oleh dua manusia yang sudah kuberi
kasih sayang tapi malah bermain drama di belakang.
.
.
Sahabat
dan kekasih. Maksudku, bekas sahabat dan bekas kekasih. Bekas? Haha. Ya, anggap
saja begitu. Aku tak menemukan kata berbahasa Indonesia yang tepat untuk
menggambarkan kalian.
Mmm...
Apa kabar kalian berdua yang dulu sangat kusuka dan bahkan kucinta?
Aku
ingat saat pertama kali mempertemukan kalian di depan gerbang sekolah. Tujuanku
sederhana, agar dua orang yang kuicnta bisa saling kenal dan bisa menjalin
suatu hubungan pertemanan.
Harapanku
hanya sebatas hubungan pertemanan. Bukan percintaan seperti yang kalian lakukan
di belakangku.
Aku
pun ingat, kalian berpuluh-puluh kali mengirimiku kata ‘maaf’ melalui media
apapun. Telepon, SMS, bahkan hingga mendatangiku langsung. Berhari-hari,
berbulan-bulan, bahkan hingga aku sengaja menghilang dari hidup kalian. Kuputus
semua media yang berhubungan dengan kalian. Kupikir, luka yang kalian goreskan
butuh waktu cukup lama untuk disembuhkan.
Hingga
enam tahun.
Hingga
aku lupa dengan rasa saat terluka, dan hampir lupa dengan yang menggoreskan
luka. Lukaku telah disembuhkan oleh waktu dan lupa.
Aku
lupa bagaimana bisa kejujuran dari kalian malah melukai hati dan ingatan. Aku
lupa bagaimana waktu berproses menyembuhkan luka itu. Dan aku lupa bagaimana
waktuku dan lupaku bekerjasama mengobati luka itu. Aku lupa. Atau mungkin
sengaja memaksa untuk lupa.
Apapun
itu, kurasa sekarang adalah waktu sembuhku. Sekarang adalah waktu yang kusebut
‘cukup lama untuk disembuhkan’. Ya, luka dari kalian sudah disembuhkan. Luka
dari kalian sudah tak sakit dan meradang. Luka dari kalian sudah sembuh total.
Berterima
kasihlah pada waktu dan lupaku yang telah menyembuhkan goresan luka dari
kalian, hingga aku sanggup berucap ‘Aku sudah memaafkan kalian’.
.
.
“Oh hallo, Adi! Kabarku baik-baik saja. Aku
nggak dendam. Aku sudah memaafkan kalian,” balasku.
“Hai, Naura! Maaf baru sempat membalas. Aku
sekarang tinggal dan bekerja di Semarang. Tenang saja, aku sudah memaafkan
kalian,” kubalas SMS permintaan maaf dari Naura yang entah sudah berapa
lama kuabaikan dengan sengaja.
120217
-yw-
Komentar