SHARING AND FUN EDUCATING ARSA COMMUNITY
ARSA Community. Mungkin sebagian dari kalian tidak asing dengan nama ARSA. Ya, jika kalian browsing di google, maka kalian akan mendapatkan informasi atau artikel yang berhubungan dengan Bapak Chairul Tanjung (yang lebih dikenal dengan Bapak CT, yang terkenal sebagai orang terkaya kesekian di seluruh dunia dan memiliki beberapa perusahaan yang kemudian diembel-embeli dengan kata CT diawal atau diakhir nama perusahaan yang bersangkutan) dan istrinya, Ibu Anita Tanjung, yang juga aktif di bidang sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Tapi tahukah kalian siapa founder atau pencetus komunitas ini? Bukan Bapak CT atau istrinya. Bukan.
Jemi Ngadiono.
Asingkah kalian dengan nama itu? Bagi sebagian anak muda yang tertarik dengan dunia sosial-pendidikan di Indonesia pasti tahu siapa beliau. Tapi bagi kalian yang belum tahu, izinkan saya sedikit memperkenalkan beliau. Beliau adalah founder dari 1000 guru, yang merupakan suatu komunitas peduli pendidikan pedalaman dan perbatasan Indonesia yang telah ada sejak tahun 2012. Lalu apa hubungannya 1000 guru dengan ARSA Community?
Jemi Ngadiono inilah sang founder ARSA Community yang memang dinaungi oleh yayasan CT Foundation.
“Mungkin kalian para relawan sedikit bingung kenapa saya, yang mungkin kalian kenal sebagai founder 1000 guru bisa berada di sini, di ARSA Community, bersama kalian. Saya memang ditunjuk oleh CT Foundation untuk ‘mengurus’ ARSA Community ini. Awalnya nama komunitas ini adalah CT ARSA Community, namun saya ingin kata CT dihilangkan dari nama komunitas ini.”
Semua relawan diam. Menyimak.
“Mengapa? Karena saya ingin para relawan yang bergabung dalam komunitas ini, saat ini ataupun nanti, murni punya misi dan cita tulus yang sama, yaitu untuk saling berbagi kebahagiaan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti bagi anak-anak di pedalaman Indonesia, tanpa memandang siapa foundernya, siapa badan yang menaunginya, atau siapa pengurusnya. Saya tidak ingin para relawan ARSA Community bergabung hanya karena tahu bahwa komunitas ini dinaungi oleh CT Foundation. Saya tidak mau seperti itu.”
Jemi Ngadiono diam sejenak.
“Dan mengapa saya mau mengurus komunitas ini? Ya karena komunitas ini berdiri tanpa ada unsur politik. Saya ingin ada ketulusan dalam komunitas ini, baik di tim maupun relawan yang bergabung,” (kurang lebihnya) begitu kata Jemi Ngadiono pada malam keakraban tim dan relawan di Sharing dan Fun Educating 1 (SAF 1) ARSA Community.
Lalu apa perbedaan 1000 guru dan ARSA Community ini? Pasti kalian ingin menanyakan hal itu kan? Haha. Sama. Itu hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya sebelum mendaftarkan diri menjadi relawan SAF 1, dan terjawab setelah saya lolos seleksi.
ARSA merupakan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa, yang berarti kebahagiaan atau kegembiraan.
Jadi, ARSA Community ini adalah komunitas yang peduli pada sosial-pendidikan anak-anak dengan cara berbagi kebahagiaan, ilmu pengetahuan, dan budi pekerti bagi anak-anak pelosok Indonesia. ARSA Community memiliki kegiatan berupa Sharing and Fun Educating (SAF), di mana tim dan relawan akan berbagi kebahagiaan, budi pekerti, ilmu pengetahuan umum, dan menekankan pendidikan keagamaan kepada anak-anak pelosok Indonesia selama dua hari. Selain itu, terdapat pula perlombaan khas hari kemerdekaan Indonesia yang akan diadakan dalam kegiatan ini.
Sedangkan komunitas 1000 guru merupakan gerakan peduli pendidikan pedalaman dan perbatasan Indonesia, berupa Traveling and Teaching (TnT), yaitu kegiatan berlibur/jalan-jalan namun disertai kegiatan mengajar dan pemberian motivasi di pedalaman yang berlangsung selama 3 hari (1 hari untuk perjalanan dan meeting, 1 hari untuk teaching, dan 1 hari untuk traveling). Ada juga kegiatan 1000 guru yang diberi nama Teaching and Giving (TnG), yaitu kegiatan mengajar selama sehari disertai dengan pemberian donasi.
Pada dasarnya, kedua komunitas ini punya visi misi yang sama, yaitu peduli terhadap pendidikan di Indonesia, hanya saja terdapat beberapa aktivitas dalam kegiatan-kegiatannya yang berbeda. Dan untuk kali ini saya akan membahas tentang kegiatan SAF 1 yang diadakan oleh ARSA Community (mungkin bisa juga lain waktu saya akan bahas tentang kegiatan TnT 1000 guru yang pernah saya ikuti).
.
.
ARSA Community merupakan komunitas peduli pendidikan yang memang masih baru di Indonesia, dan kegiatan pertama yang dinamai SAF ini berlangsung di Bogor. Tepatnya di MI Al-Manar, Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, tanggal 11 dan 12 Maret 2017. ARSA Community sudah open recruitment sejak sekitar sebulan sebelum hari H, dan berhasil menarik minat sebanyak 30 orang yang kemudian menjadi relawan terpilih dalam SAF ARSA Community. Namun jumlah tersebut semakin berkurang menjelang hari H. Dari 30 relawan terpilih, hanya tersisa 19 relawan yang ‘positif’ mengikuti kegiatan ini.
Mengapa demikian?
Alasannya pun beragam. Ada yang tidak melakukan konfirmasi dan pembayaran (fyi, pembayaran ini ditujukan untuk biaya pembuatan kaos dan pin, biaya transportasi, biaya makan dan minum, biaya perlengkapan lain, dan untuk donasi), ada yang mengundurkan diri secara mendadak karena suatu hal, dan beberapa alasan lain.
Meeting point kegiatan ini dijadwalkan tanggal 10 Maret pukul 21.00 waktu Indonesia bagian Taman Sempur, Bogor. Namun karena saat itu cuaca Bogor sedang tidak menentu yang kadang panas, kadang hujan, kadang mendung tanpa hujan, kadang hujan tapi panas, maka ditetapkan tempat meeting point berpindah ke KFC cabang Bogor.
Sebelum pemberangkatan (pukul 23.00), tim dan relawan berkumpul untuk mengulas kembali tentang jadwal kegiatan SAF. Transportasi yang digunakan bukanlah mobil berAC, kereta atau bus, melainkan mobil tronton brimob/polisi (ya, you know what i mean lah, mobil yang warna hitam yang belakangnya terbuka dan biasa untuk mengangkut polisi).
Perjalanan yang saya kira akan semulus jalanan kota Bogor, ternyata tidak saya dapatkan ketika sudah berada di kabupatennya. Banyak jalanan tidak berperikemanusiaan yang membuat kepala kami (tim dan relawan) terbentur berkali-kali pada besi penyangga yang ada di belakang tempat duduk. Ah ya, fyi, tempat duduk yang saya maksud adalah tempat duduk terbuat dari besi yang tersusun berhadap-hadapan seperti busway dan angkutan kota. Paham kan dengan apa yang saya deskripsikan?
Setelah menempuh perjalanan lebih cepat 1,5 jam (dibandingkan prediksi pada jadwal, dimana perjalanan ditempuh selama 5 jam), akhirnya kami sampai di lokasi pukul 02.30. Sisa waktu tersebut kami manfaatkan untuk istirahat sebelum memulai kegiatan SAF. Kami beristirahat di salah satu ruangan kelas TK. Lumayan luas untuk menampung 20 lebih relawan dan beberapa tim. Ruangan ini juga yang nantinya akan digunakan untuk makan, berkumpul, rapat, sholat, dan (dimanfaatkan oleh salah satu kelompok) untuk kegiatan mengajar.
.
.
Hari pertama kegiatan SAF diawali dengan upacara bendera yang diikuti oleh seluruh guru (jumlah guru di MI ini hanya 3 orang), tim, relawan, dan founder. Upacara berlangsung di lapangan kecil di depan ruangan istirahat kami.
Beberapa relawan dan tim bertugas sebagai petugas upacara, sementara anak-anak hanya sebagai peserta upacara. Cukup kaku, aneh dan lucu mendapati kami -para tim dan relawan- harus mengikuti upacara (yang memang sudah lama tidak kami ikuti setelah lulus sekolah). Tapi tak apa, kami bahagia melakukannya. Oh ya, tim dan relawan di ARSA Community ini berusia antara 19 tahun hingga (mungkin) 30 tahun.
Fyi, MI Al-Manar termasuk sekolah yang baru karena kelas tertua pada tahun ini masih kelas 4. Dan ada juga sekolah untuk TK A dan B. Total ruangan di sekolah ini ada 4 kelas dan 1 kantin sekaligus koperasi. Entah bagaimana cara pengaturan jam dan kelasnya jika hanya terdapat 4 ruangan, sedangkan siswanya ada 6 kelompok. Namun biarpun masih baru, Alhamdulillah sekolah ini sudah mendapat izin dari Dinas Pendidikan. Semua berkat perjuangan Ibu Kepala Sekolah yang gigih pontang panting menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan kelegalan atas berdirinya sekolah ini. Sungguh mulia perjuangan Beliau.
Setelah upacara selesai, anak-anak dihibur dengan beberapa gerakan ice breaking berupa permainan dan aneka jenis tepuk tangan untuk meningkatkan semangat dan ketertarikan mereka pada kegiatan kami. Dan kemudian anak-anak dibagi menjadi 6 kelompok sesuai dengan kelasnya, yaitu kelompok kelas TK A, TK B, Kelas 1, Kelas 2, Kelas 3, dan Kelas 4. Tiap kelompok kelas akan dibimbing oleh 2-3 relawan. Kakak relawan pembimbing berhak memakai kelas manapun. Boleh di dalam ruangan, maupun di lapangan. Tergantung kesepakatan antara relawan dan anak-anak.
Kegiatan mengajar berlangsung selama 1,5 jam. Tim sudah memberikan materi pengajaran kepada relawan sebelum hari H, sehingga relawan diharapkan sudah mempersiapkan media pengajaran yang menarik sesuai materi dan daya tangkap dari masing-masing kelompok kelas. Di sela jam mengajar tersebut, relawan berhak menyelipkan ice breaking, nyanyian, atau permainan lain agar anak-anak tidak cepat bosan. Tak hanya itu saja, relawan juga ditugaskan untuk memberikan dongeng pada kelompok kelasnya. Tema dan media untuk mendongeng menjadi hak relawan, asalkan sesuai dengan rentang usia anak-anak asuhnya.
Ada pula kegiatan lain, di luar kegiatan mengajar, yang berhubungan dengan angan dan cita dari anak-anak. Jika di komunitas 1000 guru identik dengan pohon impian, maka di SAF ARSA Community terdapat suatu kegiatan dimana anak-anak berhak untuk memilih lembar cita-cita -yang sudah disiapkan oleh tim- sesuai keinginan masing-masing. Dan nantinya relawan akan memilih 1-3 anak -di kelompok kelasnya- untuk diantarkan pulang ke rumah dan bersama-sama (relawan dan anak lainnya) menempelkan lembar cita-cita tersebut di salah satu ruangan di rumahnya.
Ketika sesi mengantar anak-anak pulang dan penempelan kertas cita-cita, dada saya terasa sesak. Melihat mereka berjalan cukup jauh untuk bersekolah, melihat mereka tak mengeluh lelah, panas, mengantuk, atau keluhan lain. Yang ada hanyalah celotehan riang khas anak-anak.
Ah, saat itu saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya merasa lebih beruntung dibandingkan mereka, tapi mereka justru lebih pandai bersyukur dibandingkan saya. Malu dan haru.
Bahkan mereka yang sedari pagi hingga siang dipadatkan dengan beberapa rangkaian kegiatan mengajar pun tak mengeluh saat para relawan mengingatkan untuk kembali datang ke sekolah pada sore hari pukul 17.00. Kami akan kembali mengajak mereka untuk bersenang-senang melalui kegiatan sholat berjamaah, mengaji bersama, dan diakhiri dengan menonton film bersama.
Namun pada sore harinya, sekitar pukul 15.00, Desa Wargajaya didinginkan dengan air hujan setelah dikeluhkan (bukan warga Desa Wargajaya dan anak-anak yang mengeluhkan panas, tapi saya dan beberapa teman lain. Ah maafkan kami yang manja ini) dengan panasnya matahari siang tadi. Tapi siapa sangka bahwa hujan tak menghentikan semangat dan antusias anak-anak untuk mengikuti kegiatan kami. Sebagian dari mereka malah sudah datang sejak pukul 15.30, saat para tim dan relawan sedang mengadakan permainan keakraban. Namanya sore keabraban. Bukan malam keabraban ya. Hehe.
Sore keakraban diisi dengan beberapa games yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Entah karena tingkah laku beberapa tim dan relawannya, kekalahan permainannya, atau hukuman dari permainan itu sendiri.
Permainan yang paling saya suka adalah kecepatan penyebutan nama dan asal tempat tinggal. Pada permainan ini, tim dan relawan dibagi menjadi 4 grup dengan masing-masing 5 anggota. Aturan mainnya berupa versus antar dua kelompok yang dipisahkan dengan sehelai kain hitam yang dibentangkan dengan tujuan agar masing-masing kelompok tidak bisa saling melihat. Saat wasit mempersilakan wakil dari masing-masing kelompok untuk berdiri (dalam hitungan ketiga), maka wakil kelompok tersebut harus beradu cepat menyebutkan nama dan asal tempat tinggal dari lawan mainnya.
Mengapa saya suka permainan itu? Karena secara tidak langsung kami dituntut untuk lebih mengenal tim dan relawan lain. Itu yang membuat kami semakin akrab dan menurunkan keegoisan masing-masing (di mana manusia biasanya cenderung ingin dikenal, tanpa ada kesadaran ingin mengenal. Hanya ingin diajak berkenalan, namun jarang yang ingin mengajak berkenalan terlebih dahulu. Haha. Manusiawi sekali ya. Malas repot untuk mengingat dan maunya diingat.).
Permainan tersebut merupakan akhir dari sesi sore keabraban. Terlebih karena anak-anak sudah datang dan menunggu kami di ruangan berkumpul. Bersyukur tim ARSA Community memiliki drg.Grace. Seorang dokter gigi yang ektrovert dan memiliki kemampuan berinteraksi yang baik. Saya suka dengan kepribadiannya yang hangat dengan siapapun, terlebih pada anak-anak. Ia cerdas menciptakan suasana hangat dan menyenangkan. Jadi tak heran jika banyak anak-anak yang ‘lengket’ padanya. Dan pada sore menjelang Maghrib ini, drg.Grace sedang mendongeng untuk anak-anak. Bukan mendongeng tentang binatang, namun tentang kisah Nabi dan Rasul. Gaya bicaranya yang ekspresif mampu membuat anak-anak diam dan menyimak cerita. Tim, relawan, dan bahkan orangtua dari anak-anak pun ikut berbaur, duduk, dan mendengarkan. Dan kegiatan mendongeng diakhiri dengan kuis berhadiah.
Saat adzan Maghrib telah berkumandang, anak-anak dipersilakan antre berwudhu dan menunaikan shalat Maghrib berjamaah bersama tim dan relawan. Lalu mereka diberi kebebasan untuk memilih kakak pendamping untuk belajar mengaji. Masing-masing dari tim dan relawan akan mendapat dua hingga tiga orang anak untuk dibimbing belajar iqro’.
Ah entah lah, pokoknya saya suka dengan kegiatan keagamaan dalam komunitas ini. Keaktifan pada diri anak-anak seketika berubah menjadi kesantunan yang luar biasa mengagetkan saat dihadapkan dengan hal-hal berbau keagamaan.
“Kami biasanya mengaji bersama setelah sholat Maghrib atau sholat Subuh di rumah Pak XX,” begitu pengakuan salah satu anak yang kubimbing, dan (maaf) saya lupa nama pemilik rumah yang digunakan anak-anak untuk mengaji.
Usai mengaji, anak-anak diberi hadiah berupa menonton film animasi bersama. Betapa mereka sangat bersemangat dan berlarian mendapat hal sesederhana itu, yang mungkin tak akan menarik jika diberikan pada anak-anak di perkotaan. Namun anak-anak, di manapun berada, akan tetap menjadi anak-anak, yang mana akan cepat merasa bosan dengan suatu kegiatan yang monoton, dalam waktu yang cenderung lama.
Satu per satu dari mereka mulai keluar, entah ke toilet, merajuk minta pulang pada orangtuanya, atau meminta untuk membeli jajanan. Kami memaklumi dan akhirnya mempercepat kegiatan selanjutnya, yaitu menerbangkan lampion di tengah persawahan, yang kebetulan terletak di seberang halaman sekolah. Dan ternyata baru kali ini anak-anak melihat sesuatu yang menyala dan bisa terbang bernama lampion.
Penerbangan lampion ini sebagai simbolisasi dari suatu cita-cita yang menyala, menyilaukan mata, dan terbang tinggi dalam otak dan hati pemiliknya. Tak perlu takut jika mimpi yang dicitakan terlalu tinggi, asalkan diimbangi dengan kerja keras dan doa yang tinggi pula.
“Wah, bagus ya.”
“Wah, itu semakin tinggi ya terbangnya.”
“Wah, bisa terbang jauh.”
Begitulah beberapa komentar yang keluar dari bibir mungil anak-anak. Kagum dengan apa yang dilihat.
“Cita-citamu harus seperti lampion. Tinggi, menyala, dan membuat kagum banyak orang,” bisik salah satu relawan kepada gadis kecil yang kukenal bernama Kholifah.
.
.
Serangkaian kegiatan pada hari ini pun harus diakhiri dengan mempersilakan anak-anak untuk pulang karena hari sudah terlalu malam, apalagi besok masih ada rangkaian kegiatan lain. Kami takut anak-anak terlalu lelah.
Setelah satu per satu dari mereka kembali ke rumah, kami berkumpul kembali untuk sesi malam keakraban. Founder, tim dan relawan berkumpul melingkar untuk masing-masing kembali memperkenalkan diri (nama, asal kota, pekerjaan, dan status. Hehe), berbagi pendapat, kritik, saran, dan kesan terhadap semua hal yang berhubungan dengan kegiatan SAF ARSA Community.
Diakhir sesi ini ada pula kegiatan bertukar kado, dimana sebelumnya pada tim dan relawan diharuskan membeli barang seharga Rp 10.000,00 yang dibungkus kertas koran, untuk kemudian ditukar acak dengan kado yang lain. Teknik penukaran kado dilakukan dengan cara memutarkan kado ke arah kanan secara terus menerus. Dan pemutaran akan berhenti saat semua anggota sudah mendapat masing-masing satu kado. Jika terdapat anggota yang memperoleh kado milik sendiri, maka kado boleh ditukar dengan kado milik anggota lain.
Kado yang terbungkus pun ternyata berisi berbagai macam barang. Ada buku, sisir, buku catatan, gantungan baju, masker kain penutup hidung, boneka, dan lain-lain. Sungguh menyenangkan kegiatan di hari pertama ini. Tak lupa kami berfoto bersama dengan menunjukkan kado yang telah diperoleh. Dan sebenarnya setiap hal dari kegiatan ini pasti tak akan luput dari sorotan kamera photografer. Karena menurutku, foto adalah salah satu pemutar ingatan dalam hidup ini, termasuk ingatan tentang kebahagiaan pada hari ini di kegiatan SAF ARSA Community.
.
.
Keesokan harinya merupakan hari terakhir bagi kami, yang sesuai jadwal akan diisi dengan berbagai perlombaan antar anak-anak dan antar tim serta relawan.
Perlombaan berlangsung sesuai harapan dan menyenangkan. Dan diakhir kegiatan, ada pembagian donasi serta hadiah lomba untuk anak-anak.
Terselip kesedihan dan haru kala kami harus berpamitan dengan guru dan anak-anak. Ada peluk, dan sedikit motivasi dari para relawan untuk anak-anak. Dan ada juga sesi berfoto untuk mengabadikan moment berharga yang membahagiakan seperti ini, sebelum kami benar-benar pamit untuk segera pulang ke daerah asal masing-masing.
020417
-yw-
Komentar