KALA HUJAN MEMBASAHI MINGGU
Aku ingat kala Semarang sedang sendu. Hujan disepanjang hari Minggu. Ia turun tanpa ampun. Bahkan tanpa kejelasan. Tak jelas mau reda atau deras. Rintiknya pun setia membuat tanah tetap basah.
Tapi hujan tetaplah hujan. Tak akan jadi penghalang bagi suatu lahan kerja berbasis pelayanan kesehatan untuk berhenti melayani. Begitu pula dengan pelayannya, yang tetap melayani walau kadang tanpa pakai hati.
Kutengok pintu kaca lebar di depanku. Sepi. Hujan selalu membuat siapapun enggan bersentuhan dengannya. Kasian. Banyak yang anti terhadapnya. Tapi diantara rintiknya, pasti tetap saja ada yang terpaksa harus berjumpa dan bersetuhan dengannya. Entah untuk apa, dan karena apa.
Kubilang terpaksa karena kuyakin semua manusia pasti lebih memilih menikmati kehangatan sebuah ruangan, daripada basah terkena rintik si hujan. Anak lelaki dan seorang wanita paruh baya ini lah contoh atas keterpaksaan manusia untuk bertemu hujan. Mereka turun dari sebuah becak. Berjalan beriringan sambil memayungi kepala dengan telapak tangannya. Mereka masih gigih tak ingin bersentuhan dengan hujan, walau sebenarnya itu usaha yang sia-sia. Tetap saja akan basah.
Si wanita berjalan tanpa daya, dibantu rengkuhan tangan kecil dari si anak lelaki. Berjalan menuju lahan kerjaku. Si anak membukakan pintu untuk si wanita. Mempersilakan si wanita untuk duduk di ruang tunggu. “Mbak, ada dokter?” tanyanya dengan ragu.
Kutunjukkan ruangan pemeriksaan padanya. Dan dituntunnya si wanita dengan penuh kesabaran. Kulihat ia ikut masuk ke ruang pemeriksaan. Menemani si wanita yang entah sakit apa. Kurasa si wanita adalah ibunya.
Beberapa menit berlalu. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan. Masih dengan perlakuan yang sama, si anak mempersilakan ibunya untuk duduk di ruang tunggu. Sementara ia menyerahkan resep dokter kepadaku. Pertanyaan “yang sakit ibunya?” dijawab dengan anggukan kepalanya. Kupersilakan ia untuk duduk di ruang tunggu selagi kusiapkan obat milik ibunya. Tapi ia tak beranjak. Tetap berdiri di depan meja kami -ada aku dan dua temanku-. Ah, biarlah, kalau memang ia nyaman seperti itu.
Saat kukembali dengan beberapa obat di tangan, ia masih setia berdiri di tempat yang sama, sambil sesekali menengok memastikan keadaan ibunya. Kuserahkan resep beserta obat yang telah berlabel aturan pakai kepada salah satu teman, untuk pengecekan ulang dan penyerahan obat pada si anak. Aku hanya mengamati dari belakang.
Tanpa banyak bicara, atau bahkan memang tanpa bicara, ia menganggukkan kepala selama temanku menjelaskan aturan pakai dan segala hal yang berkaitan dengan obat ibunya. Dan dengan sopan, ia berkata “terima kasih” pada kami dan berjalan kembali menghampiri ibunya. Menuntunnya menuju pintu keluar. Membukakan pintu untuk ibunya. Dan masih tetap menuntunnya menuju abang tukang becak di seberang jalan, diiringi rintik hujan yang masih tak mau menghadirkan reda.
Tiga pasang mata di balik meja Farmasi mengamati kepergian si anak dan ibunya dengan perasaan berkecamuk. Masih tanpa bicara. Lalu kemudian saling bertatap.
“Kalian pasti tahu apa yang ada dalam pikiranku,” kata seniorku, yang menyerahkan obat pada si anak tadi.
“Kurasa pikiran kita sama,” ucapku sambil menatap rintik hujan di luar. Pikiranku kemudian melayang membentuk imajinasi dan khayalan versiku sendiri.
“Anak yang baik. Membuat mata sama basahnya dengan tanah di luar sana,” kata rekanku.
Ya, dia memang anak berakhlak mulia. Mampu memperlakukan wanita dengan penghargaan yang sedemikian indahnya. Anak sebelia dia harus mengusahakan sesuatu untuk ibunya. Kurasa banyak yang bisa seperti dia, tapi tak banyak yang mau berusaha seperti dia.
Anak sebelia dia, yang kukira belum genap menginjak usia dua belas, masih lebih dewasa dibanding banyak manusia di luar sana, termasuk aku. Membuatku tersadar pada suatu kenyataan bahwa aku yang sudah sedewasa ini pun belum pernah melakukan hal seromantis itu pada ibuku. Dan ia, anak lelaki yang usianya bahkan separuh dari usiaku, mampu memperlakukan ibunya dengan sangat bijak.
Kusebut ia bijak. Sebab ia mampu berlaku sesuai hati nurani, akal budi, dan sesuai dengan apa yang memang seharusnya demikian. Ia mampu melakukan itu. Dan jika dikaitkan dengan ikhlas-ketidakikhlasan, ah aku tak paham perihal itu. Hanya Tuhan yang mampu menakar kadar keikhlasan seseorang. Yang kutahu, ia sangat bijak memperlakukan wanitanya.
Harusnya kau, kalian, aku, dan kita bisa lebih bijak memperlakukan wanita yang tak asing disebut Ibu. Harusnya kau, kalian, aku, dan kita lebih bisa memposisikan Ibu sebagai seorang yang istimewa, dibandingkan manusia-manusia lain yang bahkan tak akan pernah bisa menerima kalian dengan plus-minusnya kalian. dan harusnya kau, kalian, aku, dan kita mampu memperlakukan Ibu dengan lebih lembut dan lebih bijak, jika berkaca pada perlakuan si anak lelaki tadi.
Terima kasih, Dik, kamu adalah salah satu perantara dari Tuhan yang membuatku, rekan-rekan kerjaku, dan bahkan orang-orang yang membaca tulisanku, harus kembali bercermin pada diri sendiri dan kembali mengintrospeksi diri, bahwa banyak hal yang memang harus terus diperbaiki agar jadi lebih baik lagi, termasuk perlakuanku pada Ibuku.
Dalam hati berkata, “Dia yang anak kecil saja mampu menghargai dan memperlakukan ibunya dengan sangat baik, lembut, dan bijak, jadi tak mungkin kalau aku tak mampu.”
Teruslah seperti itu, Dik. Teruslah berlaku bijak pada ibumu. Karena kutahu itu caramu menghargai wanitamu. Jadilah anak yang terus seperti itu pada ibumu. Karena surga impianmu ada di telapak kaki wanita yang kau tuntun dan kau perlakukan dengan bijak itu. Jaga baik-baik pemilik surga impianmu. Semoga hidupmu berkah. Dan kuharap hidupku juga demikian.
Terima kasih atas cermin kehidupan yang kau bawa tepat di hadapanku kala itu, kala hujan membasahi hari Minggu. Memang benar kata orang, bahwa hujan selalu membawa keberkahan bagi setiap manusia yang mengimaninya.
090417
-yw-
Tapi hujan tetaplah hujan. Tak akan jadi penghalang bagi suatu lahan kerja berbasis pelayanan kesehatan untuk berhenti melayani. Begitu pula dengan pelayannya, yang tetap melayani walau kadang tanpa pakai hati.
Kutengok pintu kaca lebar di depanku. Sepi. Hujan selalu membuat siapapun enggan bersentuhan dengannya. Kasian. Banyak yang anti terhadapnya. Tapi diantara rintiknya, pasti tetap saja ada yang terpaksa harus berjumpa dan bersetuhan dengannya. Entah untuk apa, dan karena apa.
Kubilang terpaksa karena kuyakin semua manusia pasti lebih memilih menikmati kehangatan sebuah ruangan, daripada basah terkena rintik si hujan. Anak lelaki dan seorang wanita paruh baya ini lah contoh atas keterpaksaan manusia untuk bertemu hujan. Mereka turun dari sebuah becak. Berjalan beriringan sambil memayungi kepala dengan telapak tangannya. Mereka masih gigih tak ingin bersentuhan dengan hujan, walau sebenarnya itu usaha yang sia-sia. Tetap saja akan basah.
Si wanita berjalan tanpa daya, dibantu rengkuhan tangan kecil dari si anak lelaki. Berjalan menuju lahan kerjaku. Si anak membukakan pintu untuk si wanita. Mempersilakan si wanita untuk duduk di ruang tunggu. “Mbak, ada dokter?” tanyanya dengan ragu.
Kutunjukkan ruangan pemeriksaan padanya. Dan dituntunnya si wanita dengan penuh kesabaran. Kulihat ia ikut masuk ke ruang pemeriksaan. Menemani si wanita yang entah sakit apa. Kurasa si wanita adalah ibunya.
Beberapa menit berlalu. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan. Masih dengan perlakuan yang sama, si anak mempersilakan ibunya untuk duduk di ruang tunggu. Sementara ia menyerahkan resep dokter kepadaku. Pertanyaan “yang sakit ibunya?” dijawab dengan anggukan kepalanya. Kupersilakan ia untuk duduk di ruang tunggu selagi kusiapkan obat milik ibunya. Tapi ia tak beranjak. Tetap berdiri di depan meja kami -ada aku dan dua temanku-. Ah, biarlah, kalau memang ia nyaman seperti itu.
Saat kukembali dengan beberapa obat di tangan, ia masih setia berdiri di tempat yang sama, sambil sesekali menengok memastikan keadaan ibunya. Kuserahkan resep beserta obat yang telah berlabel aturan pakai kepada salah satu teman, untuk pengecekan ulang dan penyerahan obat pada si anak. Aku hanya mengamati dari belakang.
Tanpa banyak bicara, atau bahkan memang tanpa bicara, ia menganggukkan kepala selama temanku menjelaskan aturan pakai dan segala hal yang berkaitan dengan obat ibunya. Dan dengan sopan, ia berkata “terima kasih” pada kami dan berjalan kembali menghampiri ibunya. Menuntunnya menuju pintu keluar. Membukakan pintu untuk ibunya. Dan masih tetap menuntunnya menuju abang tukang becak di seberang jalan, diiringi rintik hujan yang masih tak mau menghadirkan reda.
Tiga pasang mata di balik meja Farmasi mengamati kepergian si anak dan ibunya dengan perasaan berkecamuk. Masih tanpa bicara. Lalu kemudian saling bertatap.
“Kalian pasti tahu apa yang ada dalam pikiranku,” kata seniorku, yang menyerahkan obat pada si anak tadi.
“Kurasa pikiran kita sama,” ucapku sambil menatap rintik hujan di luar. Pikiranku kemudian melayang membentuk imajinasi dan khayalan versiku sendiri.
“Anak yang baik. Membuat mata sama basahnya dengan tanah di luar sana,” kata rekanku.
Ya, dia memang anak berakhlak mulia. Mampu memperlakukan wanita dengan penghargaan yang sedemikian indahnya. Anak sebelia dia harus mengusahakan sesuatu untuk ibunya. Kurasa banyak yang bisa seperti dia, tapi tak banyak yang mau berusaha seperti dia.
Anak sebelia dia, yang kukira belum genap menginjak usia dua belas, masih lebih dewasa dibanding banyak manusia di luar sana, termasuk aku. Membuatku tersadar pada suatu kenyataan bahwa aku yang sudah sedewasa ini pun belum pernah melakukan hal seromantis itu pada ibuku. Dan ia, anak lelaki yang usianya bahkan separuh dari usiaku, mampu memperlakukan ibunya dengan sangat bijak.
Kusebut ia bijak. Sebab ia mampu berlaku sesuai hati nurani, akal budi, dan sesuai dengan apa yang memang seharusnya demikian. Ia mampu melakukan itu. Dan jika dikaitkan dengan ikhlas-ketidakikhlasan, ah aku tak paham perihal itu. Hanya Tuhan yang mampu menakar kadar keikhlasan seseorang. Yang kutahu, ia sangat bijak memperlakukan wanitanya.
Harusnya kau, kalian, aku, dan kita bisa lebih bijak memperlakukan wanita yang tak asing disebut Ibu. Harusnya kau, kalian, aku, dan kita lebih bisa memposisikan Ibu sebagai seorang yang istimewa, dibandingkan manusia-manusia lain yang bahkan tak akan pernah bisa menerima kalian dengan plus-minusnya kalian. dan harusnya kau, kalian, aku, dan kita mampu memperlakukan Ibu dengan lebih lembut dan lebih bijak, jika berkaca pada perlakuan si anak lelaki tadi.
Terima kasih, Dik, kamu adalah salah satu perantara dari Tuhan yang membuatku, rekan-rekan kerjaku, dan bahkan orang-orang yang membaca tulisanku, harus kembali bercermin pada diri sendiri dan kembali mengintrospeksi diri, bahwa banyak hal yang memang harus terus diperbaiki agar jadi lebih baik lagi, termasuk perlakuanku pada Ibuku.
Dalam hati berkata, “Dia yang anak kecil saja mampu menghargai dan memperlakukan ibunya dengan sangat baik, lembut, dan bijak, jadi tak mungkin kalau aku tak mampu.”
Teruslah seperti itu, Dik. Teruslah berlaku bijak pada ibumu. Karena kutahu itu caramu menghargai wanitamu. Jadilah anak yang terus seperti itu pada ibumu. Karena surga impianmu ada di telapak kaki wanita yang kau tuntun dan kau perlakukan dengan bijak itu. Jaga baik-baik pemilik surga impianmu. Semoga hidupmu berkah. Dan kuharap hidupku juga demikian.
Terima kasih atas cermin kehidupan yang kau bawa tepat di hadapanku kala itu, kala hujan membasahi hari Minggu. Memang benar kata orang, bahwa hujan selalu membawa keberkahan bagi setiap manusia yang mengimaninya.
090417
-yw-
Komentar
Tatat
Maaf baru balas