PERCAYAKAN HIDUPKU PADAKU, PAK, BU
Semakin bertambahnya usia, maka semakin besar keegoisan dalam diri seseorang.
Semakin bertambahnya usia, maka semakin sulit pula penyatuan pendapat antara seorang anak dengan orangtuanya. Ya, begitu menurutku. Begitu yang kurasakan. Semakin lama semakin nyata. Tak hanya rasa.
Dulu aku bisa saja menuruti hampir semua kemauan orangtuaku. Hampir tak ada yang tak bisa kuturuti. Dan begitupun sebaliknya. Mereka tak pernah tak menuruti kemauanku. Kemauan kami berbeda. Kami saling menuruti kemauan satu sama lain. Maksudku, kemauan yang lain, bukan kemauan sendiri. Menjadikanku pribadi munafik. Sok membahagiakan orang lain tanpa peduli diri sendiri.
Terus kujalani seperti itu. Berjalan hingga menjadi suatu kebiasaan, tanpa kesadaran. Terus kujalani seperti itu. Berjalan hingga menjadi suatu kemunafikan, tanpa perlawanan.
Hingga usiaku menginjak 21 tahun. Tak lagi dianggap remaja. Sudah dewasa, begitu kata banyak manusia. Usia yang membuatku ingin keluar dari zona amanku. Tak ingin menjadi seperti dulu. Ingin maju. Tak mau terus di situ. Karena ingin ke situ.
Pertama, kucoba lakukan apa yang ingin kulakukan. Kuingin sendiri, maka kujalani sendiri. Kuingin ke taman sendiri, kulakukan pula sendiri. Kuingin ke perpustakaan, ke bazar buku atau kemanapun sendiri, maka kulakukan sendiri. Karena memang aku tak ingin ditemani, apalagi diributi dengan tanya “Mau pergi dengan siapa? Nanti pulang jam berapa? Mau naik apa? Mau dijemput tak?”.
Tak ingin pula dicampuri dengan kalimat larangan “Jangan terlalu lama. Jangan terlalu malam. Jangan mudah percaya pada orang yang tak kau kenal. Jangan lengah dan tetap fokus. Hati-hati”. Hhhhhhh!!!
kedua kali, kucoba lakukan penolakan tanpa ucapan. Hanya tersirat. Dan malah mendapat tanggapan berupa penolakan juga. Hingga penolakan dibalas dengan penolakan. Begitu seterusnya hingga kuucap, “Hidup kan cari bahagia dan nyaman. Aku tak suka bekerja di rumah sakit. Aku masih nyaman di tempat yang sekarang”. Mereka terdiam walau dalam ketidaksetujuan.
Ketiga kali, kuungkap semua angan yang terendap. “Kuingin jadi relawan. Ke pelosok Indonesia. Masalah pendapatan, biar Tuhan yang turun tangan”. Ada sambutan membahagiakan dari pemimpin keluarga, namun tetap mendapat penolakan keras dari Sang pemilik telapak kaki bersurga. Tak begitu menjadi kendala. Berjalan seperti yang kuinginkan, tanpa kemunafikan, karena keputusan mutlak ada pada Bapak.
Keempat kali, kulanjutkan apa yang pernah kulakukan pada penolakan pertama dan ketiga. Melakukan yang ingin kulakukan. Merealisasikan satu per satu angan yang pernah terendap. Kuangkat endapan angan menuju permukaan. Sedikit demi sedikit. Tak perlu tergesa dan malah membuatnya semakin rumit. Cukup lanjutkan agar jadi suatu kebiasaan. Kebiasaan dengan kesadaran dan dengan sedikit perlawanan.
Kelima kali, terjadi akhir bulan kedua ditahun ini. Februari. “Aku ingin jadi relawan lagi”. Tak ada tanggapan. Hanya tatapan malas dari Sang Pemilik telapak kaki bersurga. “Tabunglah uangmu. Masa depanmu masih panjang. Sekali dua kali tak apa, tapi ini berkali-kali”.
Kutahu akan demikian tanggapan yang ditangkap oleh telingaku, dan tak akan pernah diterima begitu saja oleh prinsip dan kerasku. “Izin mutlak ada di Bapak”. Kumohon ampuni buah hati keduamu ini, Bu. Beri ampun yang seluas-luasnya.
“Kuizinkan, asal masih di Pulau Jawa. Jawa Tengah”.
Mati aku!
Mana bisa Bogor pindah ke Jawa Tengah setelah Bapak mengucap demikian? Mustahil, Bapak sayang!
“Kemana kau akan pergi? Berapa hari? Dengan berapa kawan yang menemani dari sini?”. Ah, terus saja serang aku dengan pertanyaan overthinking.
“Belum tahu. Belum ada pemberitahuan”. Maksudku, aku belum tahu ingin memberi jawaban sesuai inginnya mereka (yang membuatku harus berdusta) atau sesuai kenyataan yang ada (yang pasti akan membuatku kehilangan kewenangan atas suatu keputusan untuk hidupku sendiri). Haaasss!! Kumerasa tak mendapat keadilan.
Penolakan kelimaku terhambat. Lelah memikirkannya.
Terasa mual dan memuakan.
Cukup! Ini diriku. Ini aku dan hidupku. Aku yang berwenang. Bukankah mereka hanya boleh memandang, memperingatkan, tapi tak boleh mengambil keputusan? Keputusan akhir tetap ada padaku, bukan?
Ingin melawan sekeras mungkin. Tapi mana mungkin? Biar bagaimanapun, merekalah sepasang manusia yang dipercaya Tuhan untuk dititipi aku. Merekalah tumpuanku selama hidup. Mereka tak pernah menyakitkan seperti manusia lain di bumi ini. Karena bagiku, mereka sebaik-baiknya manusia. Manusia paling tulus yang menyayang dan mencintai aku tanpa pernah kuminta. Manusia yang kusayang dan kucinta, tak peduli apa dan bagaimana, tak peduli banyaknya ketidaksamaan pendapat dan pandangan antara kami.
Kutahu itu ungkapan perhatian, ungkapan kasih sayang dan cinta. Akupun sayang dan cinta mereka, tanpa perlu ditanya dan diungkap. Tapi kumohon beri aku kewenangan untuk menjaga diriku sendiri. Kumohon beri aku kepercayaan agar aku juga bisa percaya dengan diriku sendiri. Kumohon kembalikan hakku untuk bisa memiliki seutuhnya aku. Kumohon.
Kuhanya berani memohon dalam hati dan melalui kalimat yang kutulis ini.
“Aku mau ke Cilacap, dan akan berangkat Jumat depan”. Dusta!
Ampun, Tuhan. Ampun atas penolakan kelima yang malah kulakakan dengan sebuah pendustaan, yang kutahu akan menimbulkan banyak pendustaan lainnya.
Entah bagaimana perhitungan amalku kalau perbuatan baik tak didasari kejujuran, apalagi tanpa restu orangtua, terutama ibunda. Kumohon ampun, Tuhan. Ampuni aku, sang buah hati yang mendustai orangtuanya sendiri.
Kumohon restui aku, Tuhan. Karena kutau, restuMu diatas segala restu, termasuk restu mereka, terlebih restu Ibunda.
Kumohon ampuni dan restui aku, Tuhan.
Semakin bertambahnya usia, maka semakin sulit pula penyatuan pendapat antara seorang anak dengan orangtuanya. Ya, begitu menurutku. Begitu yang kurasakan. Semakin lama semakin nyata. Tak hanya rasa.
Dulu aku bisa saja menuruti hampir semua kemauan orangtuaku. Hampir tak ada yang tak bisa kuturuti. Dan begitupun sebaliknya. Mereka tak pernah tak menuruti kemauanku. Kemauan kami berbeda. Kami saling menuruti kemauan satu sama lain. Maksudku, kemauan yang lain, bukan kemauan sendiri. Menjadikanku pribadi munafik. Sok membahagiakan orang lain tanpa peduli diri sendiri.
Terus kujalani seperti itu. Berjalan hingga menjadi suatu kebiasaan, tanpa kesadaran. Terus kujalani seperti itu. Berjalan hingga menjadi suatu kemunafikan, tanpa perlawanan.
Hingga usiaku menginjak 21 tahun. Tak lagi dianggap remaja. Sudah dewasa, begitu kata banyak manusia. Usia yang membuatku ingin keluar dari zona amanku. Tak ingin menjadi seperti dulu. Ingin maju. Tak mau terus di situ. Karena ingin ke situ.
Pertama, kucoba lakukan apa yang ingin kulakukan. Kuingin sendiri, maka kujalani sendiri. Kuingin ke taman sendiri, kulakukan pula sendiri. Kuingin ke perpustakaan, ke bazar buku atau kemanapun sendiri, maka kulakukan sendiri. Karena memang aku tak ingin ditemani, apalagi diributi dengan tanya “Mau pergi dengan siapa? Nanti pulang jam berapa? Mau naik apa? Mau dijemput tak?”.
Tak ingin pula dicampuri dengan kalimat larangan “Jangan terlalu lama. Jangan terlalu malam. Jangan mudah percaya pada orang yang tak kau kenal. Jangan lengah dan tetap fokus. Hati-hati”. Hhhhhhh!!!
kedua kali, kucoba lakukan penolakan tanpa ucapan. Hanya tersirat. Dan malah mendapat tanggapan berupa penolakan juga. Hingga penolakan dibalas dengan penolakan. Begitu seterusnya hingga kuucap, “Hidup kan cari bahagia dan nyaman. Aku tak suka bekerja di rumah sakit. Aku masih nyaman di tempat yang sekarang”. Mereka terdiam walau dalam ketidaksetujuan.
Ketiga kali, kuungkap semua angan yang terendap. “Kuingin jadi relawan. Ke pelosok Indonesia. Masalah pendapatan, biar Tuhan yang turun tangan”. Ada sambutan membahagiakan dari pemimpin keluarga, namun tetap mendapat penolakan keras dari Sang pemilik telapak kaki bersurga. Tak begitu menjadi kendala. Berjalan seperti yang kuinginkan, tanpa kemunafikan, karena keputusan mutlak ada pada Bapak.
Keempat kali, kulanjutkan apa yang pernah kulakukan pada penolakan pertama dan ketiga. Melakukan yang ingin kulakukan. Merealisasikan satu per satu angan yang pernah terendap. Kuangkat endapan angan menuju permukaan. Sedikit demi sedikit. Tak perlu tergesa dan malah membuatnya semakin rumit. Cukup lanjutkan agar jadi suatu kebiasaan. Kebiasaan dengan kesadaran dan dengan sedikit perlawanan.
Kelima kali, terjadi akhir bulan kedua ditahun ini. Februari. “Aku ingin jadi relawan lagi”. Tak ada tanggapan. Hanya tatapan malas dari Sang Pemilik telapak kaki bersurga. “Tabunglah uangmu. Masa depanmu masih panjang. Sekali dua kali tak apa, tapi ini berkali-kali”.
Kutahu akan demikian tanggapan yang ditangkap oleh telingaku, dan tak akan pernah diterima begitu saja oleh prinsip dan kerasku. “Izin mutlak ada di Bapak”. Kumohon ampuni buah hati keduamu ini, Bu. Beri ampun yang seluas-luasnya.
“Kuizinkan, asal masih di Pulau Jawa. Jawa Tengah”.
Mati aku!
Mana bisa Bogor pindah ke Jawa Tengah setelah Bapak mengucap demikian? Mustahil, Bapak sayang!
“Kemana kau akan pergi? Berapa hari? Dengan berapa kawan yang menemani dari sini?”. Ah, terus saja serang aku dengan pertanyaan overthinking.
“Belum tahu. Belum ada pemberitahuan”. Maksudku, aku belum tahu ingin memberi jawaban sesuai inginnya mereka (yang membuatku harus berdusta) atau sesuai kenyataan yang ada (yang pasti akan membuatku kehilangan kewenangan atas suatu keputusan untuk hidupku sendiri). Haaasss!! Kumerasa tak mendapat keadilan.
Penolakan kelimaku terhambat. Lelah memikirkannya.
Terasa mual dan memuakan.
Cukup! Ini diriku. Ini aku dan hidupku. Aku yang berwenang. Bukankah mereka hanya boleh memandang, memperingatkan, tapi tak boleh mengambil keputusan? Keputusan akhir tetap ada padaku, bukan?
Ingin melawan sekeras mungkin. Tapi mana mungkin? Biar bagaimanapun, merekalah sepasang manusia yang dipercaya Tuhan untuk dititipi aku. Merekalah tumpuanku selama hidup. Mereka tak pernah menyakitkan seperti manusia lain di bumi ini. Karena bagiku, mereka sebaik-baiknya manusia. Manusia paling tulus yang menyayang dan mencintai aku tanpa pernah kuminta. Manusia yang kusayang dan kucinta, tak peduli apa dan bagaimana, tak peduli banyaknya ketidaksamaan pendapat dan pandangan antara kami.
Kutahu itu ungkapan perhatian, ungkapan kasih sayang dan cinta. Akupun sayang dan cinta mereka, tanpa perlu ditanya dan diungkap. Tapi kumohon beri aku kewenangan untuk menjaga diriku sendiri. Kumohon beri aku kepercayaan agar aku juga bisa percaya dengan diriku sendiri. Kumohon kembalikan hakku untuk bisa memiliki seutuhnya aku. Kumohon.
Kuhanya berani memohon dalam hati dan melalui kalimat yang kutulis ini.
“Aku mau ke Cilacap, dan akan berangkat Jumat depan”. Dusta!
Ampun, Tuhan. Ampun atas penolakan kelima yang malah kulakakan dengan sebuah pendustaan, yang kutahu akan menimbulkan banyak pendustaan lainnya.
Entah bagaimana perhitungan amalku kalau perbuatan baik tak didasari kejujuran, apalagi tanpa restu orangtua, terutama ibunda. Kumohon ampun, Tuhan. Ampuni aku, sang buah hati yang mendustai orangtuanya sendiri.
Kumohon restui aku, Tuhan. Karena kutau, restuMu diatas segala restu, termasuk restu mereka, terlebih restu Ibunda.
Kumohon ampuni dan restui aku, Tuhan.
040317
-yw-
-yw-
Komentar