SABTU BERSAMAMU

Bagian satu. Hari pertama kita berjumpa melalui dunia nyata.

Pertemuan kita bagai suatu kebetulan yang runtut. Ah tidak, tidak. Aku tak percaya kebetulan. Aku selalu percaya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini pasti sudah tertulis rapi dalam perencanaan Tuhan, termasuk pertemuan kita.

Melihatmu kali pertama melalui dunia maya, sebulan yang lalu. Melalui sebuah komentar di e-poster ‘open recrutment volunteers ARSA Community’ milik temanku, Kuncoro. Ternyata kau juga mengenal Kuncoro. Jujur saja saat itu aku tak tertarik pada fisikmu, tapi aku tertarik pada namamu. Nama terakhirmu. Unik dan menarik perhatian. Terngiang dalam ingatan. Hingga pada akhirnya kita dipertemukan kembali dalam sebuah grup volunteers ARSA Community, dua minggu lalu. Kita sama-sama diterima jadi relawan. Walau sebenarnya aku tak menyangka kau juga mendaftar.

Ada namamu dalam daftar volunteers yang diterima oleh ARSA Community dan ada pula nomor handphonemu dalam daftar anggota grup Whatsapp ARSA Community. Dan itu artinya, aku akan segera bertemu denganmu -sang pemilik nama unik yang dulu sempat membuatku tertarik- melalui dunia nyata.

Aku sempat kehilangan ketertarikan padamu karena ketidakaktifanmu dalam grup. Kau cenderung tak banyak bicara, kecuali untuk pembahasan yang serius dan penting. Kupikir kau memang tipe lelaki yang dingin dan tak banyak bicara.

Hingga hari yang kutunggu telah tiba. Hari H. Hari Jumat. Aku berangkat melalui Stasiun Tawang Semarang saat pagi masih sangat perawan, dan bahkan adzan pun belum berkumandang. Ya, aku sendirian. Tak apa, karena aku lebih senang demikian. Namun kesendirian tak selamanya menyenangkan. Aku mulai merasa pegal dengan diamku di bangku kereta. Rasa kantukku juga sudah hilang sejak matahari mulai meninggi dan mengintip melalui jendela lebar di kereta ini.

“Hei, kemarilah, Shin! Aku lagi di kantin kereta”, begitu ucap Kuncoro melalui media chatting di Whatsapp. Aku tak sengaja bertemu Kuncoro di kereta ini, kereta Matarmaja. Kami hanya berbeda gerbong. Dia di gerbong 4 dan aku di gerbong 1. Jauh. Aku malas beranjak menuju kantin kereta, apalagi mengingat barang bawaanku yang sangat menyita tempat.

“Aku nggak bisa gerak. Aku ada di bangku paling pojok. Maaf,” balasku.

“Kalau begitu kita bertemu di stasiun Jatinegara saja ya? Gimana?”

“Baiklah.”

Sedikit lega mendapati kenyataan bahwa aku tak sendirian di Ibukota yang -dalam bayanganku- selalu menyeramkan. Untung ada Kuncoro yang kebetulan (ah, tidak. Maksudku, berdasarkan takdir Tuhan) sedang ada kegiatan di Jawa Barat juga, walaupun kota tujuan kami tak sama. Kuncoro mengajakku makan di sebuah warung makan nasi padang di seberang Stasiun Jatinegara, sembari ia menunggu temannya yang akan menjemput dan aku menunggu temanku selesai kuliah. Aku tak dijemput oleh temanku, tapi aku yang akan mendatangi temanku di Universitas Negeri Jakarta. Gampanglah, biar nanti aku naik Go-jek menuju ke sana.

“Kenapa kamu ndak bilang kalau ikut jadi relawan di ARSA? Tahu gitu kan aku bisa ikut juga. Nah ini malah kita ketemu, sama-sama jadi relawan, sama-sama di Jawa Barat, tapi beda komunitas. Untung kita masih sempat ketemu di Jatinegara,” Kuncoro mulai berbicara dengan logat ke-Jawa Timur-annya yang khas, setelah memesan dua porsi nasi padang.

“Lah aku itu dapat info open recruitment volunteers ARSA dari e-poster di instagrammu loh Mas. Gimana sih? Hahaha.”

“Aku nggak tahu kalau kamu tertarik untuk mendaftar,” ada sedikit kecewa dalam ucapnya. “Oh iya, nanti titip salam ya buat temanku. Rama, namanya. Dia jadi relawan di ARSA juga.”

“Rama? Mmm. Ya ya, sepertinya ada yang namanya Rama di grup,” kataku sambil menerka-nerka. Rama yang dimaksud oleh Kuncoro pasti adalah Rama yang pernah kulihat di kolom komentar e-poster milik Kuncoro, yang nama uniknya membuatku tertarik. Aku yakin.

~~~~~

Pukul 21.00 waktu Indonesia bagian Jawa Barat.

Aku sudah berada di sebuah kafe di Bogor bersama beberapa orang baru yang mayoritas berasal dari Jawa Barat. Ya, mereka adalah para relawan ARSA Community yang akan menjadi partnerku selama dua hari kedepan, termasuk Rama yang entah seperti apa orangnya.

Aku mulai pasang mata dan telinga, mencari tahu sosok bernama Rama. Hingga mataku terhenti pada satu sosok lelaki di ujung meja yang berpenampilan berantakan, slengekan, namun tampan. Ia sedang mengisap rokok sambil sesekali tersenyum mendengar obrolan-obrolan kami -para relawan dan tim ARSA Community yang baru malam ini resmi bertemu di dunia nyata- yang terdengar ricuh dan tak terkontrol. Banyak hal yang dibahas dalam obrolan kami, sambil menunggu anggota lain yang belum hadir.

Ternyata lelaki slengekan itu bukan Rama. Arya, namanya. Entah mengapa ada rasa khawatir jika Rama membatalkan keikutsertaannya secara mendadak. Lah? Mengapa aku harus khawatir? Memangnya siapa aku dan apa korelasi dengan ada tidaknya Rama dalam kegiatan ini? Hahaha, aku tak tahu alasannya. Yang kutahu, aku ingin bertemu dengan Rama dan melihat sosoknya secara nyata.

Kekhawatiranku akan ketidakhadiran Rama dalam kegiatan ini berujung kekecewaan. Aku kecewa tak berkesempatan bertemu dengannya. Kecewa pada pengharapanku sendiri. Entah apa yang membuatnya batal menjadi relawan. Ah sudah lah, mungkin kita tak ditakdirkan berjumpa. Lagi pula aku tak ingin niat berbagiku untuk anak di pedalaman berubah jalur hanya karena sosok lelaki bernama Rama. Niatku tulus untuk berbagi, bukan untuk mencari, apalagi mencari seorang lelaki.
 
 
Salah satu sudut lokasi di Sharing and Fun Educating 1 ARSA Community ~ komunitas dan lokasi pertama yang mempertemukan kita


~~~~~

Hari pertama. Sabtuku yang kupikir akan kelabu tanpamu.

Jam 3 pagi. Samar-samar kulihat ada beberapa orang yang baru saja datang dan masuk ke dalam ruangan relawan. Aku tak tahu siapa mereka. Tak terlihat jelas oleh mata kantukku. Hanya terbangun dan melihat sejenak. Lalu kembali terlelap.

Pagi harinya, kusadar bahwa ada beberapa anggota baru di kegiatan ini. Mungkin tim ARSA Community, begitu pikirku. Tak banyak relawan dan tim yang kuhafal namanya. Bukan berarti aku sombong karena tak mau mengajak berkenalan terlebih dulu, hanya saja kupikir aku bisa mengenal mereka semua seiring berjalannya kegiatan dan akan lebih mengenal saat malam keakraban.

Dan aku sudah siap bertemu anak-anak di desa yang sedang kupijaki ini. Kuadaptasikan dulu kakiku untuk melangkah keluar ruangan. Dan ke-introvert-an dalam diriku muncul ketika melihat pagi hari khas pedesaan yang menyejukkan hati. Ingin rasanya menikmati semua ini sendiri. Kuposisikan diriku duduk menghadap persawahan yang membentang di depan halaman sekolah. Sejenak memejamkan mata. Meresapi kesejukan. Namun tiba-tiba telingaku menangkap panggilan nama Rama di sela kebisingan yang keluar dari bibir para tim ARSA. Seketika mata terbuka dan mata mulai mencari tanpa kendali. Ke kiri, ke kanan. Mana lelaki bernama Rama?

Aku tak berani bertanya tentang sosokmu pada siapapun. Tak terpikir olehku untuk membuka akun Instagram dan melihat sosokmu melalui foto profil di grup. Sama sekali tak terpikir. Aku hanya berusaha mencari sendiri lewat kepekaan telinga dan mata.

“Woy, Kak Ram! Ketemu lagi nih kita! Haha,” sapa Ifa, salah satu relawan, pada seorang lelaki tinggi kurus. Ram? Rama? Warna kulit tubuh khas pria Jawa, rambut ikal terkesan berantakan, dan gaya berpakaian yang sederhana. Ternyata benar kau. Berdiri tak jauh dariku.

Bahkan kemudian takdir menuntunmu bersebelahan denganku saat sarapan bersama, sebelum kegiatan mengajar dimulai. Ada getar bahagia menjalar dalam raga. Tak apa masakan pertama tak terasa nikmat, asal ada kau -di sebelahku- yang menetralkan ketikdaknikmatan itu.

“Eh, Kak Rama ya?” kuberanikan menyapa, setelah otak melakukan pertimbangan antara kurangi gengsi atau aku tak akan pernah mengenalnya sama sekali.

Dia menoleh kaget, namun tak terkesan jijik dengan ke-sok kenal sok deket-anku. Ekspresi bertanya yang ramah, menurutku.

“Mm, dapat salam dari Kak Kuncoro.”

“Wah Kuncoro? Ya ya. Dia kenal juga sama Aji. Ji, sini lu! Dapat salam nih dari Kuncoro,” ia memanggil salah satu tim yang paling tampan, yang kemudian kukenal bernama Aji.

“Apa?” kata Aji sambil berjalan menghampiri tempat dudukku dan Rama.

“Ini temannya Kuncoro. Dapat salam nih dari Kuncoro,” kata Rama mengulangi.

“Eh, siapa namanya?” tanya Aji sambil memiringkan kepala membaca name tag di dadaku. “Shiiintaaa. Oh, Shinta. Eh, kok bisa kenal Kun? Teman satu kampus?”

“Oh bukan. Aku kenal saat sama-sama jadi relawan di Tegal.”

“Ah ya, yang komunitas regional Semarang itu kan? Mm iya sih kemarin Kun bilang, katanya ada teman dari Semarang yang jadi relawan di ARSA. Kok bisa tahu ARSA dari mana? Padahal Semarang-Bogor jauh kan?”

Aku bahagia kau dan Aji begitu hangat mengajakku berbincang, walau topik pembicaraan masih seputar Kuncoro. Tak apa. Aku yang pendatang merasa dihargai dengan cara seperti ini. “Dari e-poster yang dipasang Kak Kun. Eh lha kok ternyata malah dia nggak ikut. Hehehe.”

“Dia aja pasang e-poster itu karena kita yang nyuruh. Hahaha,” akhirnya kau angkat bicara, setelah pembicaraan didominasi oleh Aji. Ah Rama, padahal kuingin berbincang berdua denganmu, tanpa ada Aji yang malah jadi penengah antara kita. Untung saja dia tak jadi penengah jarak antara kita.

Perbincangan denganmu harus usai mengingat tugas kita di kegiatan ini. Ya, kita relawan. Tak seharusnya kita mendahulukan kepentingan pribadi kita, mm maksudku, kepentingan pribadiku untuk lebih mengenalmu. Semoga ada saatnya nanti.
kali pertama makan bersama tim ARSA dan kali pertama takdir mendekatkan kita hingga kuberanikan untuk menyapa
Tapi kurasa takdir terlalu cepat mempertemukan kita lagi. Saat upacara bendera dengan seluruh siswa, kau -yang sedang memimpin barisan kelas 2- berdiri tepat di depanku -yang sedang berbaris menyamping bersama dengan relawan lain-. Memandang keindahanmu yang berlatar pegunungan dan hijaunya alam, dibantu pencahayaan sinar mentari. Lengkap sudah keindahan pagi ini.

Kebaikan takdir Tuhan tak berhenti. Aku dan kelompokku diberi tugas untuk membimbing siswa kelas 1, sedangkan kau dan kelompokmu membimbing siswa kelas 2. Kelas kita berhadap-hadapan. Barisan kelompok kita bersebalahan. Ah, tapi kemudian ada putus asa saat kusadar bahwa partner dalam kelompokmu begitu cantik dan menawan. Seorang dosen Matematika, berasal dari daerah yang sama denganmu, logat bahasa yang sama denganmu, satu kelompok denganmu, dan punya lebih banyak kesempatan bercengkrama denganmu. Cantik, putih, bersih tanpa jerawat (sangat malu mendapati wajahku dalam keadaan sedang banyak jerawat akibat PMS), modis, sholehah, lembut, dan cerdas pastinya. Betapa beruntungnya si dosen cantik itu. Yah, ok, aku kalah. Semua yang ada dalam dosen cantik itu adalah harapanku. Aku pernah berharap memiliki semua yang ada dalam dirinya, termasuk profesinya.

Sudah lah, lupakan tentang kekalahanku atas dosen cantik itu. Kuhanya ingin bercerita tentangmu dan aku diantara anak-anak bimbingan kita. Ah, kita. Hahaha. Ya, beberapa kali kulihat kau begitu akrab dengan anak-anak yang kau bimbing. Aku pun begitu. Mencoba akrab dengan anak-anak bimbinganku. Tapi bagiku, melihat seorang lelaki dapat berbaur dan bercengkrama dengan anak-anak adalah suatu pemandangan menarik. Apalagi lelaki itu adalah kamu.

Dan entah ini hanya rasaku saja atau bagaimana, tapi aku merasa kau beberapa kali memposisikan diri agar jarak kita selalu dekat. Kau beberapa kali memandangku dari kejauhan. Kau beberapa kali memandangku secara diam-diam. Ya, aku merasa demikian. Merasa dijadikan target tatapan matamu. Dan semua berawal dari matamu. Aku suka pandangan matamu yang menangkapku dalam diam. Hingga aku terperangkap dalam tatapan mata itu. Tatapan mata yang kuartikan secara mendalam.

Saat sedang mendampingi siswa-siswa asuhanmu, kau duduk tak jauh dariku. Saat sedang berlangsung sore keakraban dan perlombaan bersama para tim dan relawan, jarak kita tak pernah berjauhan, hanya berjarak dua orang relawan. Saat sedang makan, lagi-lagi kita duduk bersebelahan. Saat usai mendampingi anak-anak menonton film bersama, kau tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku, untuk kemudian kita foto bersama relawan lainnya. Kau selalu begitu. Memposisikan diri agar jarak antara kita tak pernah jauh, walau bibir kita tak sering ucap sapa (mungkin) karena malu. Tapi apakah benar kau mengusahakan itu semua karenaku? Atau jangan-jangan karena alasan ketidaksengajaan yang membuatmu begitu? Atau malah mungkin karena dosen cantik yang beberapa kali sering dekat denganku, hingga kau menjadikanku perantara agar tetap bisa dekat dengan dosen cantik itu? Tolonglah, jangan kau iyakan dugaanku yang kedua dan ketiga. Itu sulit kuterima, Rama. 
 
sore keabraban biar kita makin akrab ~ siapa tahu berujung ijab *ups
 
tim dan relawan ARSA Community bersama anak-anak MI Al-Manar, Kabupaten Bogor ~ ada aku, kau, dan anak-anak bimbingan kita
kegiatan menonton film bersama ~ ada aku dan kau diantara mereka



190317

-yw- 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL DISTOPIA : RED QUEEN (INDONESIAN)

SELEKSI NUSANTARA SEHAT

MASIH TENTANG NUSANTARA SEHAT