TOLONG ANTRE DONG!
Sebagai tenaga farmasi di sebuah
instansi pelayanan kesehatan, tentu pekerjaan ini menuntutku untuk selalu bertemu
dengan banyak orang dan selalu bertemu dengan orang baru setiap harinya. Karakter
dan sifat dari setiap orang yang kutemui juga tak selalu sama. Bermacam-macam,
berbeda-beda, dan beranekaragam. Ya begitulah pasien/konsumen di tempat
kerjaku.
Kadang ada pasien yang membuatku
kagum karena lembut dalam bertutur, dan kadang ada pula yang membuatku geram
karena bahasa yang kasar. Kadang ada pasien yang membuatku heran karena ia terlalu
diam, dan kadang ada pula pasien yang membuatku beristighfar karena ia tak bisa
sedikit bersabar. Dan ketidaksabaran ini yang menurutku jadi sumber kekacauan
dan ketidakharmonisan dalam pelayanan di tempat kerjaku.
Seperti yang terjadi sore ini, dan
sore-siang-pagi-malam sebelumnya, ...
Tempat kerjaku tak pernah sepi
pengunjung. Selalu ramai. Padahal tenaga farmasi untuk tiap shift berjumlah
lumayan banyak. Sekitar 3-5 orang tiap shift. Tapi tidak bisa menandingin ‘banjir’nya
pasien yang datang berkunjung. Ada 6 kategori pasien yang berkunjung di tempat
kerjaku : pasien yang datang untuk berobat, untuk menebus resep dokter, untuk
menanyakan informasi tentang obat, untuk membeli obat bebas, untuk komplain
tentang harga obat dan secara terang-terangan membandingkan harga di tempat
kerjaku dengan tempat lain, dan (hanya sekedar) untuk menawar harga obat. Serius,
ada banyak pasien di tempat kerjaku yang termasuk dalam kategori terakhir.
Dan sore ini kami -aku dan teman
kerjaku- diserbu oleh pasien. Kedua temanku melayani masing-masing satu pasien.
Begitupun denganku. Aku melayani seorang Bapak muda yang menebus resep dokter
untuk anak balitanya. Seperti biasa, kutanyakan informasi dasar dari pemakai
obat. Respon pasien pun sangat baik. Hingga tiba-tiba, “Mbak?”. Kulihat sekilas
si sumber suara. Seorang Bapak yang mungkin usianya sudah kepala 5.
“Mm ini ...”
“Ya, sebentar,” segera kupotong
pembicaraannya dengan intonasi lembut yang sedikit kupaksakan. Ya, aku memang
tak suka dengan pasien yang asal serobot antrean.
Kulihat dari sudut mataku, si Bapak
kepala 5 mulai mendesak si Bapak muda. Si Bapak muda pun bergeser.
“Mbak, beli obat seperti ini.”
Tak kutanggapi. Karena memang aku
sedang menghitung dosis obat dari resep si Bapak muda tadi.
Lalu kulihat sekilas si Bapak
kepala 5 bergeser menuju salah satu temanku -yang memang kutahu lebih sabar
daripada aku- sambil menghimpit pasien lain yang juga sedang menunggu antrean. “Mbak,
saya ...”
“Mohon maaf Bapak, sebentar ya,”
temanku pun bereaksi sama. Memotong ucapan si Bapak kepala 5 itu.
“Ck huh!,” kudengar decakan sebal
dari Bapak kepala 4. Tapi tak kuhiraukan.
Dan tanpa putus asa, ia mulai
mencoba lagi, “Saya cuma mau tanya harga dulu, Mbak. Nggak lama.”
Tak ada jawaban dari kami. Aku sudah
malas menghadapi pasien seperti itu. Mungkin juga dengan teman-temanku. Daripada
kuberi respon tapi dengan intonasi tidak menyenangkan, ya lebih baik aku diam
dan fokus dengan satu pasienku.
Sekilas kulihat bungkus obat yang
sedari tadi dipegang oleh si Bapak kepala 4. Bukan obat darurat. Obat suplemen
otak yang masih tersisa beberapa tablet.
Kemudian gerakan si Bapak kepala 4
mulai tak kontrol. Ke sana ke mari mencari petugas farmasi yang mungkin saja
bisa disela untuk ditanyai olehnya. Hingga ada satu pasien yang mungkin sudah
sejak tadi menahan amarah, “Aduh, gimana sih Pak? Ini nyenggol anak saya lho. Dari
tadi gerak sana, gerak sini. Kalau mau dilayani ya antre. Sabar!”
Ah,
akhirnya ada yang bisa mewakili uneg-unegku, ucapku dalam batinku,
tanpa menyaksikan perdebatan antara dua pasien itu.
“Saya cuma mau beli ini doang. Bukan
mau nebus resep.”
“Ya sama. Saya juga mau tanya-tanya
doang. Tapi tolong antre dong, Pak. Bapak sama Mbak-mbak yang di sini juga sudah
dari tadi antre di sini. Kalau nggak sabar, monggo
cari apotek lain saja,” ucap si Ibu dengan lebih sewot.
“Halah! Pelayanan aja yang payah. Lama!
Dari tadi nggak selesai-selesai. Payah!” si Bapak kepala 5 juga tak kalah sewotnya,
dan langsung pergi keluar ruangan.
Kami hanya melongo sejenak sambil
beristighfar dan geleng-geleng penuh keheranan. Begitu juga dengan pasien lain
yang sedang mengantre. Bahkan ada yang tertawa heran menyaksikan kejadian tadi.
Kok
ya ada manusia seperti itu? Ya memang ada. Itu hanya
salah satu contoh manusia yang kutemui dengan tingkat kesabaran dan
kedisiplinan yang rendah.
Lalu, apakah pasien dengan karakter
kesabaran dan kedisplinan yang rendah akan selalu kami perlakukan dengan
demikian -tetap mendisiplinkan ia untuk mengantre-? Jawabannya TIDAK.
Mengapa? Karena kami melihat
kondisi dari si pasien. Jika pasien dengan karakter tersebut memang sedang
dalam kondisi tertentu dan membutuhkan pelayanan CITO (segera, maksudnya harus
segera diberi pertolongan), maka kami akan mendahulukan pasien tersebut. Dan kami
yakin pasien lain tidak akan keberatan jika ada satu atau dua pasien yang
menyerobot antreannya dengan alasan tadi. Contoh kondisi yang membutuhkan
pelayanan CITO ialah seperti pasien yang datang dengan luka di kaki setelah
terjatuh, pasien dengan sesak nafas, pasien yang datang dengan kondisi akut,
dan kondisi lainnya.
Loh?
Tapi obat si Bapak kepala 5 tadi untuk otak, kan? Berarti CITO juga dong? Otak kan
bagian vital? Akan jadi suatu kondisi yang membutuhkan
pelayanan CITO jika si pasien tidak memiliki pertolongan apapun, sehingga
membutuhkan pertolongan cepat dari tenaga kesehatan. Tapi pada kasus ini, si
Bapak kepala 4 tadi masih memiliki beberapa stok obat, dan kami berasumsi bahwa
ia tidak dalam keadaan darurat. Ia hanya membutuhkan obat untuk stok harian.
Mungkin saja saat menyerobot
antrean, si Bapak kepala 4 beranggapan bahwa keperluannya hanya sebentar dan
tidak akan sebanding dengan banyaknya waktu yang ia gunakan untuk mengantre. Tapi
apakah si Bapak kepala 4 tersebut berpikir bahwa mungkin ada orang lain dengan
kondisi fisik jauh lebih buruk darinya, namun tetap bisa bersabar menunggu
antrean? Kurasa Bapak kepala 4 tak sempat berpikir demikian.
Bukannya kami menyalahkan si Bapak
kepala 4 tadi. Kami hanya memberikan contoh bahwa ada beberapa pasien yang
kadang memojokkan tenaga kesehatan (kami), dengan menganggap bahwa pelayanan kami
sangat buruk hanya karena kami tidak mentoleransi adanya ketidakdisiplinan
pasien dalam mengantre. Ya, memang antre-mengantre adalah hal yang sepele, tapi
apa jadinya jika dalam suatu komunitas berisi kumpulan manusia yang tak bisa
disiplin terhadap hal sepele itu?
Ayolah, kita lestarikan budaya kedisplinan
dalam mengantre yang -di sebagian tempat- sudah hampir terkikis! Apa kita bisa
mengantre hanya jika ada mesin yang mampu mengeluarkan kertas antrean saja? Nggak
mungkin kan?
Kita ini manusia. Kita ciptaan
Tuhan. Kita punya otak untuk berpikir, punya nurani untuk merasa, dan punya
kendali atas diri kita sendiri. Sedangkan mesin hanya ciptaan manusia. Jadi, apa
iya kita sebagai manusia ciptaan Tuhan (akan) bisa disiplin hanya jika dikendalikan
oleh mesin yang merupakan ciptaan manusia juga? Dan apa iya kita mau selamanya
dikendalikan oleh mesin? Jika tanpa mesin, apa iya tak akan ada lagi kedispilinan
di dunia ini? Entahlah... Kita sendiri yang mampu menjawabnya, bukan?
060817
-yw-
Komentar