NAURA

Hitam. Kata itu banyak diucap oleh sebagian orang ketika melihat Naura (ponakan perempuanku), dan mungkin sebagian yang lain hanya mengucapkannya dalam hati. Ya memang ponakanku ini memiliki fisik yang tak sama dengan kami (anggota keluarganya). Naura memiliki warna kulit yang gelap. Berbeda dengan ibunya (kakak kandungku), bapaknya, kakak laki-lakinya, dan kakek-neneknya yang memiliki warna kulit yang lebih cerah (cenderung kuning langsat). Apalagi jika disandingkan denganku, hmm sangat kentara sekali perbedaannya. Banyak yang bilang seperti kopi hitam dan susu putih.

Diusia pertama dan kedua, perbedaan yang ada pada diri Naura serta komentar dari beberapa orang terkait perbedaan itu tidak menjadi masalah yang bermakna apapun, karena dari segi usia, Naura hanya seorang batita yang belum menyimpan banyak kosa kata. Naura tak paham jika komentar itu ditujukan untuknya, yang kadang bermakna merendahkannya. Hanya karena warna kulitnya.

Ketika kalimat “Ini anaknya Mbak Eka ya? Kok kulitnya beda sendiri ya?” mulai terdengar, maka reaksi kami sebagai keluarga hanyalah tersenyum. Sesekali kami memberi tanggapan pembelaan terhadap Naura dengan jawaban “Nggakpapa Dek Rara kulitnya hitam, yang penting bisa tumbuh sehat”. Sekali, dua kali, dan kesekian kali mendengar komentar yang bermakna sama, membuat kami jadi terbiasa, karena memang begitu kenyataan dan keadaannya.

Tapi aku sebagai tantenya mendapati hal yang berbeda ketika Naura menginjak usia ketiga-keempat. Ia mulai bereaksi jika ada yang mengomentari warna kulitnya, baik secara langsung maupun dengan cara berbisik. Menurutku, Naura itu peka, mudah merasa. Ia pun merasa dan tahu saat ada teman ibunya yang mengomentari warna kulit dengan cara berbisik pada ibunya sendiri. Ibunya memang hanya tersenyum mendengar komentar dari temannya. Mungkin Ibunya sudah terbiasa dan menyadari bahwa memang keadaannya seperti itu. Tapi tidak dengan subjek yang dikomentari, yaitu Naura. Ia mulai menunjukkan ketidaksukaan pada orang yang berisik membicarakannya, apalagi membicarakan kekurangannya. Ia akan menunjukkan ekspresi wajah yang judes dan marah. Walaupun kemarahannya tidak diungkapkan melalui sikap dan perilaku, tapi ekspresi di wajahnya sudah cukup menggambarkan betapa ia sangat kesal dikomentari seperti itu.

Lalu apa aku hanya mengamati secara diam-diam tanpa melakukan apapun? Oh tidak. Aku mencoba membicarakan hal tersebut dengan orangtua Naura, bahwa anak perempuannya sudah semakin pandai dan semakin banyak menyimpan kosa kata, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa.

“Naura sudah semakin ekspresif, Mbak, Mas. Dia peka saat ada yang membicarakannya. Biarpun dia anak kecil, tapi dia juga punya rasa. Jadi kuharap teman-teman kalian lebih berhati-hati dalam berucap, apalagi kalau sedang berbicara tentang dia,” begitu ucapku pada orangtua Naura. Karena bagaimanapun, orang terdekat, ilmu terbaik, dan bimbingan ternyaman untuk Naura berasal dari orangtuanya sendiri.

Semakin bertambah tahun, komentar tentang warna kulit Naura sama sekali tidak bertambah, tidak berkurang, tapi selalu ada tiap harinya. Hingga usia Naura kini hampir memasuki tahun keenam. Hingga reaksi yang Naura tunjukkan (terhadap komentar orang-orang terhadap warna kulitnya) tak lagi sama seperti dua-tiga tahun lalu. Kini ia sudah semakin pandai mengatur emosi. Ia tak lagi menunjukkan ekspresi marah saat ada yang mengomentari warna kulitnya. Namun justru itu yang membuatku bertanya-tanya tentang bagaimana perasaannya mengenai komentar-komentar itu. Apakah masih ada marah seperti dua-tiga tahun lalu? Atau apa? Ekspresinya tak tergambarkan. Hanya diam. Tanpa menanggapi, baik lewat ucapan, ekspresi, atau apapun.

Hingga saat keluarga besarku sedang berkumpul di rumah Eyang, ada salah satu saudara (yang senang bergurau) memanggilnya dengan sebutan ‘hitam’. Ia tiba-tiba saja diam dan menunduk memainkan kuku berkutek pink miliknya. Padahal sebelumnya ia sangat aktif dan bergerak sana sini.

Diantara riuhnya tawa dari keluarga besar, kulihat ada sedih di wajah Naura. Aku mendekat. Kuraih tangannya, kemudian kutuntun ia untuk duduk dipangkuanku. Lalu kupeluk Naura sambil berbisik, “Kenapa? Ngantuk? Nggakpapa ya kalau kulitnya hitam, yang penting Naura pintar, nggak gampang sakit, rambutnya bagus, rajin ngaji, temennya banyak.”

Naura masih diam. Lalu kucairkan suasana hatinya dengan membukakan lagu anak-anak lewat youtube. Tanpa menunggu lama, ia kembali menjadi Naura yang biasanya, yang ceria, yang suka gerak, yang aktif, yang tak kenal lelah, dan cerdas dalam berucap.

Disela-sela ia menonton youtube, aku mencoba berbicara dengannya perihal perbedaannya. Mumpung suasana dalam rumah sudah sedikit tenang, dan mumpung aku sedang berdua saja dengan Naura.

“Nok, tante punya temen nih yang kerjanya jadi pramugari, model, dokter, dan penari, yang kulitnya hitam kayak Naura gini. Mau lihat nggak?”

“Hitam, Te?” katanya antusias sambil menyerahkan HPku.

“Heem. Nih!” sambil kubuka akun instagram milik teman-temanku dengan profesi yang berbeda-beda. Aku tidak berbohong pada Naura karena memang aku punya teman yang berkulit gelap namun memiliki kesuksesan luar biasa diusia muda.

“Ini temen Tante namanya Mbak Ayu. Cantik kan walaupun kulitnya hitam? Pramugari nih dia.”

“Kalau ini Mbak Jihan. Model. Cantik juga kan? Lebih cantik mana daripada Tante?,” kuselingi pertanyaan gurauan.

“Hahahaha cantik Mbak Jihan lah, Te.”

“Naaah.. Punya kulit hitam nggakpapa, Nok. Yang penting pintar, nurut sama Ibuk Bapak, rajin sekolah. Kalau Tante lagi nyanyi bahasa Inggris, didengerin dulu, jangan ditiruin swasweswaswee gitu, ....”

“Whahahaha ndak mudeng, Te.”

“Ndakpapa. Nanti belajar dikit-dikit. Jadi besok-besok jangan sedih, jangan marah kalau ada yang ngatain hitam. Dijawab aja sambil senyum : biarin hitam, yang penting sehat, pinter. Gitu.”

Lalu Naura kembali asik dengan melihat foto teman-temanku yang berkulit hitam dan sukses itu, sambil sesekal ia bertanya tentang hal-hal yang membuatnya penasaran. Dia memang begitu. Mudah penasaran dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.

Tak hanya sekali, dua kali aku membisikkan kalimat-kalimat penyemangat yang sederhana pada Naura. Sering. Terlebih setelah ia bercerita tentang ejekan teman/orang di sekitarnya terkait warna kulitnya. Aku tak akan bosan memberitahu Naura bahwa fisik, apalagi warna kulit, tak akan berpengaruh besar terhadap kesuksesannya di masa depan.

Dan aku berterima kasih pada iklan produk facial wash yang sudah menampilkan banyak model perempuan dengan berbagai warna kulit, dari yang putih khas Eropa, kuning langsat khas Asia, dan sawo matang hingga gelap. Berkat iklan tersebut, aku semakin mudah menunjukkan dan menyemangati Naura terkait warna kulit yang kadang membuatnya menjadi minder.

“Tuh Nok, lihat iklan itu. Mbaknya yang hitam itu cantik nggak?”

“Cantik.”

“Nah, berarti hitam itu nggak berarti jelek. Itu mbaknya aja tetep cantik walaupun hitam.”

Naura diam mengamati iklan itu hingga selesai.

Hhhhh... Jika ada ratusan orang yang menghina gelapnya warna kulit Naura, akan ada satu orang yang akan menyemangatinya lewat bisikan dan lewat cerita-cerita yang kadang hanya karangan semata, yaitu aku. Dan kurasa aku tak sendirian, karena akan ada Ibunya, Bapaknya, kakaknya, dan Kakek-neneknya juga.

Karangan cerita tentang wanita berkulit hitam yang sempurna itu kubuat bukan untuk meninggikan angan-angannya, tapi untuk meninggikan semangatnya. Selagi ia masih anak-anak, belum memiliki banyak masalah tentang kehidupan, jadi kupikir akan lebih mudah untuk kujejali cerita-cerita motivasi agar ia tak terpaku dan berhenti hanya karena warna kulitnya.

Aku sebagai tantenya hanya ingin ia tumbuh jadi anak yang aktif dalam hal positif, pemberani, tidak mudah minder. Aku hanya tak ingin ia tumbuh menjadi seperti aku di masa lalu, yang jadi korban pem-bully-an, pemalu, mudah minder, dan tak ingin mengembangkan potensi dalam diri. Itulah mengapa aku pernah menyarankan Mbakku (Ibu Naura) untuk mendaftarkan Naura ke sanggar tari tradisional karena ia suka menari saat ada musik gamelan. Agar Naura memiliki kelebihan diluar akademik yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Aku pun meminta izin ke Mbakku untuk setiap bulan mengajak Naura ke perpustakaan, toko buku, atau bazar buku. Agar Naura memiliki kegemaran membaca buku. Aku ingin ia membaca buku genre apapun. Agar ia jadi perempuan tangguh, aktif, pemberani, yang terus merasa haus informasi.

Ya, aku tantenya Naura yang menginginkan Naura tumbuh jadi perempuan yang memiliki kelebihan lebih banyak dibandingan satu kekurangan fisik yang seringkali dikoar-koar oleh banyak orang. Aku juga ingin orang-orang melihat berbagai kelebihan yang dimiliki Naura sebelum berani menyebutnya dengan kata ‘hitam’.

Lagipula, apa salahnya memiliki kulit gelap dan hitam, selagi ia tak menyulitkan orang-orang di sekitarnya? Dan apa salahnya memiliki kulit gelap dan hitam, selagi ia memiliki banyak prestasi dan mampu bersikap positif dalam kehidupannya?

Aku memang bukan Ibunya Naura, tapi aku cukup dekat dengannya. Ia lebih sering bercerita dan bertanya banyak hal kepadaku. Begitu juga denganku, (yang kata Ibunya Naura) lebih sering mengenalkan hal baru yang positif pada Naura.

Aku memang bukan Ibunya Naura, tapi aku cukup tahu bagaimana rasanya jadi korban pem-bully-an, meskipun hanya pem-bully-an secara verbal. Jadi itulah mengapa aku sangat bersemangat mengarahkan dan menggandeng Naura ke arah positif, dan terus menjejalinya dengan berbagai cerita motivasi. Agar ia tak terpaku dan berkecil hati hanya karena memiliki kekurangan dalam dirinya.

Aku sangat berterima kasih pada Ibunya Naura yang sudah mengizinkanku untuk ikut ‘mendidik’ Naura. Aku bisa belajar beradaptasi dan lebih sabar menghadapi anak kecil, aku bisa belajar bagaimana cara memikat hati anak kecil, aku jadi semakin merasa haus ilmu dan informasi, terlebih mengenai pola asuh anak, aku semakin tertarik membaca buku parenting, seperti bukunya Ibuk Retno Hening ‘Happy Little Soul’, dan aku jadi punya sedikit gambaran bagaimana menjadi seorang ibu (yang masih memiliki anaknya kecil), walaupun sampai sekarang belum terpikir olehku kapan aku akan menjadi seorang (istri dan) ibu. Hehehe.

Dan kuharap segala pem-bully-an dalam bentuk apapun akan semakin berkurang setiap harinya, terlebih pada usia anak. Karena menurutku, pem-bully-an sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang dan perilaku anak. Jangan sampai pem-bully-an menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sebagai suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari. Jadi mari bersama-sama kita kembali mengintrospeksi diri untuk lebih mengontrol segala tingkah laku dan ucapan kita. Karena bisa saja apa yang kita ucapkan terhadap orang lain, yang kita anggap sebagai lelucon atau gurauan, justru menjadi luka mendalam untuk orang lain, seperti yang terjadi pada Naura.


** Tolong berikan koreksi kalau apa yang kutulis tidak sesuai atau memiliki kesalahan. Silakan tulis di kolom komentar, atau via email personal. Terima kasih.



260817

-yw- 

Komentar

Irawati Hamid mengatakan…
Adikku juga pernah mengalami hal yang dialami Naura Mbaa, sedih deh kalo ingat keheranan orang-orang yg seolah gak percaya ia anak ortuku :(
Unknown mengatakan…
Mereka yg dikomentari negatif, tp kitanya yg sedih dan nggak tega sendiri ya mbak. Adiknya dimotivasi dan diomongin hal2 positif aja mbak biar nggk minder. Salam ya mbak buat adiknya. Semoga selalu sehat dan semangat :)
Btw, Makasih banyak mbak udah mau mampir dan nyempetin buat baca :)

Postingan populer dari blog ini

NOVEL DISTOPIA : RED QUEEN (INDONESIAN)

SELEKSI NUSANTARA SEHAT

MASIH TENTANG NUSANTARA SEHAT