KURELAKAN CITAKU, PAK
Harapanku
untuk bisa melanjutkan sekolah jenjang SMP harus pupus di tengah jalan. Kali
ini benar-benar tak bisa dilawan. Bapak sudah tak mau mengeluarkan uang
sedikitpun untuk biaya sekolahku. Mending
uangnya untuk biaya sekolah adik-adikmu. Mereka masih kecil. Mereka lebih butuh
biaya, begitu ucap Bapak. Jujur, aku membenarkan argumen Bapak.
Tapi
bukankah Bapak punya banyak tanah yang luas? Ya memang benar, tapi zaman dulu
di daerah tempat tinggalku, Wonogiri, kegiatan menyewakan atau menjual tanah
dianggap sebagai suatu hal yang sering dipandang sebelah mata. Masyarakat yang
menyewakan atau menjual tanah biasanya karena memang tak ada pilihan lain,
alias menjadi pilihan terakhir. Masyarakat percaya bahwa ketika sekali saja ada
yang menyewakan atau menjual tanahnya, maka selanjutnya orang tersebut akan
terus melakukan penyewaan dan penjualan tanah. Bagiku, itu hanya sebuah gengsi
yang malah dijadikan budaya. Masyarakat cenderung gengsi menyewakan atau
menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan, hanya karena takut nanti akan
dianggap mlarat/krisis ekonomi/jatuh miskin. Dan sayangnya Bapak adalah salah
satu dari ratusan masyarakat yang ikut melestarikan budaya gengsi itu, sehingga
aku dan citakulah yang harus jadi korban.
Aku
sudah merasa tak nyaman di rumah. Tak ada lagi kegiatan bersekolah seperti
dulu. Hanya ada pemandangan dan suara teman-temanku yang menyapa ketika mereka
lewat di pinggir sawah. Sapaan itu selalu ada setiap pagi saat mereka berangkat
sekolah dan siang hari saat mereka usai bersekolah. Membuat hasrat bersekolahku
makin meninggi. Iri melihat mereka bersama-sama berbaris melewati sawah sambil
berpakaian seragam. Aku pernah ada diantara barisan itu. Dan aku rindu.
Kerinduan
dan hasrat untuk bersekolah yang tak tercapai membuatku mengambil suatu
keputusan : aku akan merantau ke kota. Bekerja apa dengan usia yang masih
belia? Apapun. Jadi pembantu pun aku mau. Asal aku bisa menghasilkan uang
sendiri. Ini semua demi citaku. Lalu, bagaimana dengan Bapak? Apakah Bapak
mengizinkan? Tentu saja diizinkan karena aku hanyalah beban bagi Bapak. Begitu
yang kurasakan selama ini.
Ibukota
Jawa Tengah menjadi pilihanku merantau. Dengan harapan aku mendapat majikan
yang murah hati dan suatu saat mau menyekolahkanku. Semoga.
Aku
punya beberapa teman yang juga merantau di kota ini. Nasib mereka tak lebih
baik dariku. Mereka malah tak pernah mencicipi bagaimana rasanya bersekolah.
Mereka buta aksara. Tapi mereka tidak buta dengan kehidupan kota. Mereka yang
lebih dulu merantau sudah pasti punya pengalaman lebih tentang hidup di kota
perantauan yang megah ini. Aku banyak belajar dari mereka.
Kupikir,
merantau adalah salah satu cara ‘membebaskan’ diri dari Bapak. Ternyata tidak.
Bapak masih saya merecokiku. Bapak tak segan untuk meminta sebagian besar uang
hasil kerjaku, dengan alasan untuk biaya sekolah adik-adikku. Bapak memang tahu
sisi lemahku, yang terlalu sayang dan tak pernah tega dengan Ibu dan
adik-adikku. Jika aku tak segera mengirim uang pada Bapak di desa, maka Bapak
akan terus menerorku dengan surat permohonan yang berisi tentang kondisi
memprihatinkan dalam keluarga. Entah itu tentang kondisi kekeringan, adik
sakit, Ibu sakit, atau tentang gagal panen. Dan aku tak tahu itu semua benar atau
hanya skenario dari Bapak.
Usahaku
untuk terus bersekolah selalu dihalangi oleh Bapak. Sebesar apapun usahaku,
Bapak selalu bisa menggagalkanku. Begitu pun ketika aku sudah mampu mencari
rupiah hasil keringatku sendiri. Entah apa maksud Bapak menjadi penghalang atas
citaku. Melelahkan jika prinsip hidupku harus terus menerus bertentangan dengan
Bapak. Dan cukup membosankan menjadi anak pembangkang yang sering disumpahi
oleh Bapakku sendiri. Aku lelah, Pak.
Mari kita akhiri segala perdebatan yang selama ini menengahi kita.
Hingga
akhirnya aku pasrah. Bukan menyerah.
Aku
tahu ini bukan usaha terbaik yang bisa kuberikan untuk citaku. Tapi aku semakin
merasa bahwa memang seperti ini jalan dari Tuhan untukku. Memang seperti ini
takdir yang Tuhan berikan untukku. Aku berhenti,
Pak. Aku tak akan lagi menggilai citaku. Kurelakan citaku demi Bapak. Demi baktiku pada Bapak. Apa Bapak bahagia dengan keputusanku
ini?
Aku
akan memulai diri dengan mimpi yang baru, cita yang baru, dan mulai berdamai
dengan diri dan kenyataan hidup yang kutahu tak selalu lurus seperti yang
kuharapkan. Aku juga akan mulai belajar berdamai dengan kenyataan bahwa aku ada
di dunia ini karena Tuhan menitipkanku pada orangtua seperti Bapak -orang yang
selama ini kuanggap bagai monster yang selalu menghalangi langkahku bertemu
dengan citaku-. Itu anggapanku dulu, sebelum aku mau berdamai dengan diriku
sendiri.
Ah,
biarlah aku tak bisa menjadi ‘pengusaha’ yang mengusahakan citaku sendiri.
Biarlah rasa ingin yang teramat sangat terhadap citaku ini terus bertambah dari
tahun ke tahun. Biarlah aku menjadi pecundang yang tak pernah menjadi lebih
berani menemui citaku. Ah biarlah. Tak ada guna jika aku bisa bertemu dengan
citaku, tapi malah membuat hubunganku dengan Bapak makin menjauh. Tak ada guna
jika aku bisa bertemu dengan citaku, tapi malah membuatku selalu disumpahi oleh
Bapak. Tak ada guna jika aku bisa bertemu dengan citaku, tapi malah
menjadikanku seorang yang dibenci semesta karena sudah menjadi durhaka. Dan sampai
kapanpun aku tak akan bisa bertemu dengan citaku tanpa restu dari orangtuaku.
Ah,
biarlah aku berhenti berlari mengejar citaku. Aku berserah dengan jalan dari
Tuhan. Aku pasrah, dengan membawa suatu harapan baru : Bahwa suatu hari nanti
aku harus memiliki keturunan yang bisa menjadi tangan pengganti untuk menggantikanku
menggapai cita, menjadi kaki pengganti untuk menggantikanku berlari mengejar citaku,
menjadi mata pengganti untuk menggantikanku menatap dan memantau citaku, dan
menjadi penggantiku untuk memiliki citaku.
Bukan
aku berharap menjadi pemaksa bagi keturunanku. Aku hanya berharap keturunanku
yang memiliki jiwa pantang menyerah dan penuh kasih melebihiku. Aku berharap
keturunanku tak memperoleh rintangan atas citanya sendiri. Aku berharap keturunanku
memiliki satu cita dasar yang sama dengan citaku, karena sebenarnya citaku sangat
sederhana : aku hanya ingin bisa bersekolah.
Hanya
itu.
*Cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dari seseorang puluhan tahun lalu*
090717 ~ 160717
yw
Komentar
Terima kasih sudah mampir, baca, dan meninggalkan komentar :)