IZINKANKU MENGUSAHAKAN CITAKU, PAK


Aku ingin sedikit bercerita tentang kehidupanku tempo dulu, yang terlahir dari orangtua dengan kekayaan yang lumayan banyak. Bapak memiliki beberapa lahan tanah yang luas, namun tak memiliki pola pikir yang luas juga. Aku yang merupakan anak kedua dituntut untuk membantu Bapak mengolah lahan persawahannya.
Lalu bagaimana dengan hakku untuk mengenyam pendidikan, Pak? Bukankah aku punya hak untuk itu? Begitu tanyaku dalam hati setiap kali Bapak dengan galaknya berpendapat bahwa sekolah tidak penting untuk kehidupan anak desa sepertiku. Bagi Bapak, yang terpenting untuk anak desa hanyalah kepandaian dan kelihaian dalam mengolah persawahan.
Perihal pendidikan, aku dan Bapak tak pernah seiya sekata. Selalu ada perdebatan, walau aku tak pernah menyanggah atau mengungkapkan pendapatku. Pernah beberapa kali pendapat yang kuucapkan malah mendapat sambutan berupa pukulan, tamparan, dan semacamnya. Jika kejadian itu terjadi pada masa sekarang, mungkin Bapak sudah masuk penjara dengan pasal KDRT karena kekerasan yang dilakukan tak hanya kepadaku, tapi juga Ibu. Ibu yang sangat lembut selalu mengerti keinginanku untuk melanjutkan pendidikan, tapi Bapak yang berwatak sangat keras dan kolot tak pernah terima jika keputusannya sebagai kepala kelarga dibantah oleh anggota keluarganya.
Aku ingat, dulu untuk menuntaskan pendidikan sekolah dasar saja, aku harus memohon belas kasihan dari Bapak. Aku harus pandai ‘mengambil hati’ Bapak dengan cara mengerjakan apapun yang bisa kukerjakan untuk Bapak. Setiap hari, aku punya target untuk menyeselaikan semua pekerjaan, seperti memanen, membajak sawah, mengurus sapi dan kambing, sebelum berangkat sekolah. Tak apa tubuhku yang mungil ini berkeringat karena pekerjaan sebanyak itu, yang penting aku masih diperbolehkan oleh Bapak untuk sekolah.
Setiap sebelum subuh, aku membantu Ibu mengambil beberapa potongan kayu bakar sebagai media untuk memasak. Jika tak ada stok kayu bakar, maka aku pula yang harus mencari ke hutan. Hutan yang kumaksud tak seseram lokasi di film horror. Mungkin juga karena hutan sudah menjadi salah satu habitatku.
Kutunggui Ibu yang sedang memasak bersama dengan kakak perempuanku, sambil bercerita banyak hal. Tak jarang Ibu memberiku petuah-petuah kehidupan, dan wejangan-wejangan untuk tidak membantah keputusan orangtua, terlebih pada Bapak. Memang tak semua petuah yang diberikan Ibu bisa kupahami. Hanya beberapa yang kuingat hingga sekarang, salah satunya ‘Lelaki itu harus lebih kuat daripada wanita, bukan secara fisik, tapi secara mental. Dan kuatnya lelaki bukan untuk melukai wanita, tapi justru untuk melindungi wanita’. Ibu memang selalu lembut, tak pernah sekalipun kasar. Sangat berbeda dengan Bapak.
Ah ya, tentang Bapak. Bapak biasanya akan kubangunkan setelah masakan olahan Ibu sudah siap saji. Aku juga yang biasanya membuatkan kopi hitam untuk Bapak. Setelah Bapak puasa menikmati sarapannya, kami berangkat ke sawah dengan berjalan kaki. Tak seperti saat aku bersama Ibu yang penuh dengan pembicaraan tentang banyak hal. Kebersamaan dengan Bapak selalu terasa sunyi. Entah aku yang malas berbicara dengan Bapak, atau Bapak yang sudah lelah berbicara padaku, yang selalu berujung dengan pembantahan yang terbungkus dalam diam. Aku memang tak ingin berdebat banyak dengan Bapak. Jika tak setuju, maka aku memilih diam daripada menyulut api amarah dalam diri Bapak.
Pekerjaan yang kulakukan bersama Bapak selalu membuatku kotor. Penuh lumpur, pasir, kotoran binatang, rumput/tanaman-tanaman liar menempel di tubuh dan bajuku. Bukan baju seragam, tapi baju lusuh yang memang kugunakan khusus untuk bertani. Sedangkan baju seragam putih merahku selalu kusimpan dalam kantong plastik bersama dengan butu tulis dan pensilku. Nanti saat matahari mulai terbit, tubuhku seperti mendapat signal yang memperintahkanku untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan di sawah ini, agar aku mendapat izin untuk bersekolah. Jika tidak, maka aku akan dipaksa oleh Bapak untuk membolos sekolah.
Pernah beberapa kali aku melarikan diri dari Bapak yang menyuruhku untuk membolos sekolah. Aku tidak mengiyakan, tapi tidak juga menolak. Tapi berpikir, bagaimana caranya agar bisa tetap berangkat tanpa berdebat panjang yang berujung pertengkaran dengan Bapak. Jadi kuputuskan untuk melarikan diri saja. Melarikan diri yang kumaksud adalah pergi tanpa pamit, bukan pergi namun tak kembali. Haha. Biar bagaimanapun aku masih butuh makan dan segala hal dari uang Bapak.
Zaman dulu belum banyak yang menggunakan jam sebagai petunjuk waktu. Kami biasa menggunakan matahari dan merasakan hembusan udara untuk memperkirakan waktu setempat. Jika matahari sudah mulai naik, itu tandanya aku harus mengakhiri pekerjaanku dan dengan hati-hati meminta izin Bapak untuk bersekolah. Ya, harus dengan hati-hati dalam berucap, agar Bapak segera mengiyakan ucapan ‘Pak, aku pamit berangkat sekolah ya?’ dariku.
Di sekolah aku dikenal sebagai murid berprestasi. Aku pandai dalam pelajaran apapun, termasuk matematika. Walaupun aku termasuk murid yang paling sering terlambat masuk sekolah, tapi pengajar di sekolahku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka memberi maklum pada murid-murid yang harus bertani dulu sebelum sekolah, termasuk aku.
Aku sering jadi sumber contekan bagi teman-teman sekelasku. Tak apa, aku ikhlas dan bahagia bisa membantu mereka. Berharap suatu saat nanti kebaikanku bisa membuahkan kebaikan lain di masa depan. Ya walaupun aku tahu bahwa ini bukan contoh yang baik untuk ditiru. Tapi itulah aku yang di masa anak-anak, yang sering berpikir positif terhadap banyak hal. Aku adalah anak yang optimis.
Saat jam pulang sekolah tiba, aku tak bisa seperti teman lainnya yang bercanda haha-hihi bermain sesuka hati. Aku harus segera pulang ke rumah karena  masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Jika aku pulang terlambat, maka Bapak tak akan mencariku sampai ke manapun, sambil membawa amarah dalam dirinya. Pernah sekali aku nekat bermain usai sekolah. Aku bermain di sungai bersama teman-temanku hingga lupa waktu. Yah kupikir Bapak akan memaklumi karena sebenarnya aku berhak mendapatkan kebahagiaan khas anak-anak seperti ini. tapi kenyataannya tidak demikian. Bapak datang dengan wajah yang tak ramah dan menyeretku secara paksa. Teman-temanku tak ada yang berani menolong. Mereka sudah tahu bagaimana watak Bapakku yang terlalu kaku.
Sebagai anak lelaki tertua di keluarga, Bapak berpikir bahwa aku bisa melakukan banyak hal, termasuk segala pekerjaan rumah. Aku diberi tugas lebih berat dibandingkan saudaraku yang lain. Aku memaklumi, karena memang usia adik-adikku masih sangat kecil. Adik pertamaku, perempuan, berusia tak jauh dariku, tapi sudah pasti tak akan bisa membantuku. Ia cenderung akan diberi tugas membantu Ibu, bersama kakak perempuanku.
           Aku yang harus mengurus kelima adikku yang lain. Aku merasa sangat kerepotan ketika aku yang ingin belajar malah diberi tugas untuk mengajak bermain sekaligus memandikan, menyuapi, bahkan me-ninabobo-kan adik-adikku. Ah, bukankah seharusnya ini tugas wanita? Sayangnya aku tak punya pilihan lain selain melakoni semua peranku. Memang benar kata Ibu, bahwa menjadi lelaki harus punya mental yang lebih kuat daripada wanita.
090717
 
 -yw-

Related image



Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL DISTOPIA : RED QUEEN (INDONESIAN)

SELEKSI NUSANTARA SEHAT

MASIH TENTANG NUSANTARA SEHAT