MASA LALU SELALU JADI MASALAHKU
“Shinta sayang ndak sama
abang?” tanyanya, tepat setelah pembicaraan haha-hihi kami via telepon tengah
malam ini.
“Ha? Apaan sih bang!”
“Iya. Shinta sayang ndak sama
abang? Nyaman ndak sama abang?”
“Hahaha. Pertanyaannya .....”
“Abang serius nanya loh sama Tata.”
Begitulah kegigihan seorang pria berdarah Bugis itu, yang belum sampai
setahun ini kukenal. Hanya mengenal sebatas nama dan hal-hal umum lainnya.
Kami saling tahu satu sama lain sejak bergabung dalam suatu program
kesehatan. Selama sepuluh hari pelatihan pra program, kami berada dalam satu
lingkup yang sama.
Tak banyak yang spesial diantara kami berdua. Hanya saling tahu nama,
asal, profesi, dan tempat penugasan. Kami tak pernah berbincang. Jangankan
berbincang, bertatap muka dan saling bertegur sapa pun tak pernah kami lakukan.
Dia hanya tahu aku sebagai Shinta yang berasal dari Jawa. Dan aku tahu
namanya setelah ia terlibat suatu “konflik” sepele saat pelatihan.
“Oh ya? Siapa?” tanyaku setelah mendengar kasak kusuk obrolan para teman
wanitaku. Kala itu kami sedang istirahat setelah pelatihan.
“Itu Bang Radit.”
“Yang mana sih?” tanyaku lagi.
“Itu loh, Shin, yang penempatan di Pulau Sumatra.”
“Yang di ujung, Shin. Kelihatan nggak?”
“Yang dari Sulawesi, Shin.”
Ya, Raditya namanya. Lelaki yang sama sekali tidak mendapat perhatian
khusus di mataku. Lelaki yang kuketahui fisiknya setelah dia jadi bahan obrolan
teman-temanku. Lelaki yang kuketahui namanya setelah tiga orang teman memberiku
petunjuk yang cukup jelas. Dan lelaki yang tak mendapat perhatian lebih dariku
itu tiba-tiba saja menanyakan hal membuatku hanya bisa menjawab dengan tawa
kebingungan.
“Jadi gimana, Shin? Nyaman ndak?”
ulang Bang Radit.
“Mmm... gini, Bang. Mmm... Aku nggak tahu ya abang itu punya maksud apa
pas pertama kali ngechat aku. Dan aku juga nggak paham dengan maksud abang yang
tiba-tiba nanya tentang nyaman dan sayang.”
“Niat awal abang ngechat itu karena ..... Tata kan yang comment di salah satu postingan abang?”
“Iya. Aku iseng aja sih komentar waktu itu.”
“Nah, dari situ abang penasaran. Akun siapa sih ini? Trus abang buka akun
Tata. Dan baru lah abang tahu kalau itu akun punya Shinta, salah satu teman di
pelatihan dulu.”
“.....”
“Trus abang coba chat Tata.
Niatnya sih cuma pengin komunikasi aja. Silaturahmi. Dan ternyata Tata asik
orangnya.”
“.....”
“Abang suka dengan pemikiran Tata yang dewasa. Abang suka dengan konsep
nikah yang pernah Tata ceritakan. Nggak banyak wanita zaman sekarang yang punya
pikiran kayak Tata. Dan abang nyaman sama Tata. Tata bisa sabar ngadepin abang
yang manja, yang maunya ditemani telepon, dan ... ya Tata bisa ngimbangin
abang. Abang ada niat serius sama Tata.”
“Haaahhhhh.....,” baru aku sadar kalau ternyata sedari tadi aku menahan
napas. Dan kemudian melongo untuk beberapa saat. Sekaligus merasa nyeri kepala.
“Ta? Kok diam?”
“Mmm... Maaf nih bang, aku pikir selama ini kita saling berhubungan, kita
saling ngobrol, kita saling komunikasi, itu karena abang cuma mau main-main
aja. Aku kira abang cuma mau bikin aku baper dan bercandain aku doang.”
“Hah? Bercanda? Jadi selama ini abang coba kasih perhatian ke Tata,
telepon Tata hampir tiap hari, cerita segala macam sama Tata, itu semua cuma
dikira bercandaan, Ta?”
“Ya biasanya kan laki suka kayak gitu. Cuma mau bikin cewek ke-GR-an,
baper, dan selanjutnya nggak ada kejelasan hubungan. Dan aku pikir abang juga
kayak gitu.”
“Tata tahu nggak, Tata itu udah jadi orang nomor dua yang selalu abang
ingat. Kayak ini tadi. Abang ingat Bunda dan Tata setelah abang selesai
menangani pasien gawat. Abang langsung telepon Bunda dan Tata. Tapi ternyata
semuanya malah diaggap main-main sama Tata.”
“.....”
“Selama ini abang cerita tentang Bunda, tentang keluarganya abang, itu
karena abang percaya sama Tata. Abang nyaman. Sampai yang kemarin kita ngobrol
tentang konsep nikah, kita udah deal
tentang rencana nikah itu, ya karena abang bener-bener serius. Abang ada niat
baik sama Tata. Heeeh... ternyata malah Tata ngiranya itu cuma bercandaan.”
“Duh... Maksudku bukan begitu, bang. Aku cuma belajar dari pengalaman
aja. Aku nggak mau kayak dulu-dulu. Males aku. Udah bosen dengan hubungan tanpa
kejelasan untuk ke depannya. Cuma pendekatan-pendekatan tanpa ada tujuan.”
“Bingung abang, Ta.”
“Dulu-dulu juga gitu. Cerita segala macam tentang keluarga, tentang
kehidupan, tentang mimpi-mimpinya, bahkan sampai aku udah dikenalin ke sepupu
dan om-omnya. Tapi nyatanya? Sama aja. Gebetan di mana-mana, deketin cewek sana
sini.”
“.....”
“Bang?”
“Ya?”
“Maaf, bang. Aku nggak bermaksud meremehkan semua usaha abang. Mmm...,”
rasa-rasanya aku tak bisa menjelaskan apa-apa lagi pada Radit. Yang awalnya aku
ingin memojokkan dia dengan segala tuduhan yang berdasar pada pengalaman masa
laluku, tapi ternyata aku sendiri yang harus menerima tuduhan itu. Haha.
Konyol.
Yang awalnya aku mengira bahwa Radit adalah pemberi harapan palsu,
ternyata malah aku yang kini dituduh sebagai pemberi harapan palsu lantaran aku
menganggap remeh dan tidak menghargai segala usaha dan perhatiannya.
“Kayaknya Tata butuh waktu lebih banyak,” katanya setelah diam beberapa
saat.
“Mmm... Ok, sekarang gini deh, bang. Umur kita ini udah nggak cocok kalau
harus banyak drama dan jadi php-php nggak jelas. Mmm... intinya, abang mau maju
atau mundur? Setelah tadi abang tahu gimana masa laluku.”
“Abang bingung, Ta. Kalau abang mundur, ya gimana, kan abang udah
terlanjur maju loh ini. Dan mau maju, ya gimana, wong Tata aja udah menghadang jalan abang kayak gini.”
“Abang nggak mau meyakinkan Tata?”
“Percuma abang berjuang atau meyakinkan Tata kalau Tata sendiri nggak mau
membuka diri dan hati buat orang baru.”
Iya juga sih, ucapku dalam
hati.
“Ok, gini. Kayaknya Tata memang butuh waktu lebih banyak buat bisa nerima
masa sekarang dan masa depan. Ingat, Ta, kita udah nggak hidup di masa lalu.
Jangan terlalu berpatok sama masa lalu.”
Iya, kurasa memang kesalahan semua ada pada diriku sendiri. Aku terlalu
sibuk menengok masa lalu dan menjadikannya gambaran masa depan. Sampai-sampai
aku tak bisa membedakan mana yang benar-benar mau mengajakku berjalan menuju
masa depan, dan mana yang hanya memberi gambaran masa depan.
Memang benar kata Radit, bahwa aku butuh waktu untuk menyadarkan diri
sendiri bahwa hidupku ada di masa sekarang dan mendatang. Bukan masa lalu yang
mungkin sudah berdebu tapi masih kurawat agar bisa kubawa ke masa depanku. Ya,
aku tahu itu salahku, yang tak bisa melepas masa lalu.
Aku salah sudah memposisikan masa lalu sebagai acuan hidupku. Aku salah.
Tidak seharusnya masa lalu kugenggang terus menerus selama aku menjalani proses
hidup. Harusnya masa lalu itu aku tinggal di belakang tanpa pernah kupedulikan.
Agar tetap bisa kupandang sebentar dalam keadaan usang dan lambat laun akan
menghilang termakan zaman. Ya, harusnya demikian. Dan semoga akan menjadi
demikian untuk ke depan. Semoga.
Dan kuharap Radit akan menjadi masa sekarang yang menemaniku hingga ke
depan.
“Bang, kasih aku waktu. Tapi tolong, jangan cape dulu.”
180718
-yw-
Komentar